GBIA SEMARANG Headline Animator

omakase

IMAN

IMAN TIMBUL DARI PENDENGARAN, DAN PENDENGARAN AKAN FIRMAN ALLAH. TANPA IMAN YANG BENAR, MAKA MANUSIA AKAN MELAYANI ALLAH TANPA PENGERTIAN YANG BENAR. DAN HAL ITU SAMA SEKALI TIDAK MENYENANGKAN ALLAH (ROMA 10:1-3, 17)

Wednesday 5 August 2009

Irresistible of Grace-1

Irresistible of Grace-1

Point ke-4 Kalvinis ini menyatakan bahwa kasih karunia or grace Allah tidak bisa ditolak. Ini konsekuensi logis dari TULIP. Di dalam konsep ini juga sangat dipengaruhi oleh Augustine. Boettner mengatakan, “This cardinal truth of Christianity (I.G) was firt clearly seen by Augustine.” [Lorainne Boettner, The Reformed Doctrine of Predestination, 1932, hal. 365]. Sproul menambahkan, “Augustinianism is presently called Calvinism or Reformed Theology.” [Sproul, The Holiness of God, (Tyndale House Pub. 1993), hal. 273). Padahal Augustine adalah seorang yang percaya akan konsep Purgatory, Asketikisme, dan dipertanyakan kelahiran barunya. Lalu bagaimanakah bisa dikatakan bahwa konsep Augustine alkitabiah?

Jika kita mempelajari konsep I. G. ini secara seksama maka kita akan melihat bahwa konsep ini sesungguhnya seperti oxymoral. Sebab bagaimana dikatakan anugerah, jika itu dilakukan dengan paksaan! Hal ini tidak ada ubahnya dengan si buta bermata elang. Tentu orang yang buta tidak akan memiliki penglihatan seperti elang, karena ia memang buta. Ini adalah pernyataan yang tidak logis. Kalau anugerah itu tidak bisa ditolak, maka itu sama dengan si buta bermata elang yang mampu melihat benda yang jauh yang tidak bisa dilihat mata biasa. Bila keselamatan itu adalah Anugerah, maka ia bisa ditolak, dan kalau tidak bisa ditolak itu bukanlah Anugerah, tetapi pemaksaan kehendak.

Sebuah konsep yang sangat tidak alkitabiah. Kata “grace” muncul 170 kali dalam 159 ayat, dimana ditekankan bahwa kasih/anugerah berasal dari Allah (Allah yang menganugerahkan) namun tidak satu kalipun dikatakan bahwa anugerah yang Allah berikan itu tidak dapat ditolak.

Untuk menjawab ini, Kalvinis akan menyatakan bahwa kalau kasih karunia bisa ditolak, maka kasih karunia Allah menjadi tidak efektif lagi. Kalvinis banyak memakai terminologi-terminologi menurut defenisi mereka sendiri, bukan seperti defenisi umum.

Seperti kata “semua” mereka bisa mengatakan, bahwa semua di sini bukanlah semua orang tetapi hanya orang pilihan saja. Dan pengertian “dunia” hanyalah dunia orang-orang pilihan. Misalnya, dalam Yoh 1:29, kata ‘dunia’ di ayat ini jelas mengacu kepada seluruh dunia bukan hanya dunia orang-orang pilihan saja.

Filosofi yang mendasari konsep Irresitible of Grace

1. Kehendak Allah tidak dapat dilawan
Sekilas tampak benar, tetapi bila salah diaplikasikan, maka ini bisa salah total. Pengertian dari Kalvinis, bahwa segala sesuatu yang terjadi sesuai dengan kehendak Tuhan. Oleh karena itu, bila Allah memberi grace, maka tidak bisa dilawan atau tidak bisa ditolak. Karena dalam sistem Kalvinis, manusia itu Innability, tidak dapat merespon dan tidak dapat percaya, maka untuk menyelamatkan manusia, Allah harus memberikan kasih karunia yang tidak dapat ditolak. Itulah sebabnya Allah yang mengubah manusia untuk percaya dan menerima kasih karunia.

Dalam hal ini kita dapat melihat dengan jelas bahwa Kalvinis tidak bisa membedakan antara:
1. Kehendak Allah yang tidak bisa dilawan, yakni “keputusanNya”
2. sesuatu yang bisa ditolak manusia, yaitu “keinginanNya”

Untuk memahami hal ini mau tidak mau kita harus dapat membedakan antara keputusan Allah dengan keinginan Allah. Sebab jika tidak, maka kita akan terjebak dalam konsep yang sesat ini.

Contoh keputusan Allah:
1. Dosa harus dihukum
2. Memberikan juruselamat bagi manusia.
3. Iblis dan antek-anteknya akan dihukum.
4. Orang percaya akan masuk Surga dll.

Contoh keinginan Allah:
1. Supaya manusia percaya kepadaNya.
2. Supaya manusia percaya dan bergantung kepadaNya.
3. Supaya manusia selamat masuk Surga.

Allah sering menyatakan keinginanNya kepada manusia supaya manusia itu taat, tetapi kenyataannya manusia banyak yang membelakangi Allah, bahkan memberontak kepadaNya. Allah ingin menyelamatkan semua manusia, tetapi manusia itu menolaknya. Seperti dalam 1 Timotius 2:3,4 “Itulah yang baik dan yang berkenan kepada Allah, Juruselamat kita, yang menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran.”

Allah menghendaki semua manusia selamat, tetapi kenyataannya manusia itu menolak. Menghendaki dalam ayat di sini adalah “keinginan Allah” Harus diketahui, bahwa di dalam kehendak Allah ada keinginan dan keputusan. Keinginan Allah dapat dilawan atau ditolak, tetapi keputusanNya tidak dapat ditolak.

Kalvinis: Bila keinginan Allah bisa ditentang, maka Ia seperti manusia dan keinginan-keinginanNya itu tidak tercapai atau gagal, maka Allah tidak berbeda dengan manusia yang bisa gagal.

Keinginan Allah bisa dilawan kerena Ia sudah putuskan dari semula, bahwa keinginanNya bisa diterima dan bisa ditolak. Bila Ia dari semula telah tetapkan, bahwa keinginanNya tidak bisa ditolak, maka tidak ada manusia yang bisa menolak keinginanNya. Ini mengembalikan posisi manusia menjadi robot yang hanya bisa pasrah dan ujung-ujungnya menyudutkan posisi Allah sebagai penyebab dosa. Bila manusia itu ibarat robot dan tidak bisa menolak keinginan Allah, lalu siapa yang memasukkan dosa ke dalam dunia? Bukankah manusia itu tidak bisa berkehendak dan kehendak Allah supaya manusia tidak memakan buah itu? Bila kehendak Allah tidak bisa dilawan sesuai dengan konsep Kalvinis, maka Allah adalah penyebab dosa dan Allahlah yang bertanggungjawab atas dosa, artinya Allahlah yang harus masuk Neraka bukan manusia, karena Allah adalah ‘biang kerok’ dari semua ini.

Berikut adalah kutipan pernyataan beberapa tokoh Kalvinis:
“That fornication and unthankfulness are actually part of God’s secret will should come as no surprise in light of . . . the Calvinistic concept of God’s all encompassing decree” [Laurence M. Vance, The Other Side of Calvinism (Vance Pub., Pensacola, 1999), hal. 481.]
“We are back to the repulsive doctrine that everything that happens – including all evil – is according to God’s will.” [Arthur Pink, The Sovereignty of God (Baker Book House, 1986), hal. 243.]
“Because God’s will is always done, the will of every creature must conform to the sovereign will of God.” [Steven R. Houck, The Bondage of the Will (Peace Protestant Reformed Church), hal. 3]

Padahal jika kita mau membuka hati untuk kebenaran dan mempelajari firmanNya, kita akan mengetahui bahwa Allah tidak pernah berkeinginan supaya manusia memakan buah terlarang, tetapi melarang Adam dan Hawa untuk memakannya. Adalah kehendak Allah supaya mereka tidak makan buah itu, tetapi kehendak Allah itu tidak tercapai karena mereka memakan buah itu.

Kalau demikian statement Kalvinis yang menyatakan bahwa kehendak Allah tidak bisa dilawan adalah sesuatu yang tidak Alkitabiah dan tentu tidak logis. Kesimpulannya adalah manusia bisa menolak keinginan Allah karena Allah mengijinkannya, tetapi selalu ada konsekuensinya. Berikut adalah ayat-ayat yang membuktikan manusia dapat menolak keinginan Allah:

1. Matius 23:37 “Yerusalem,Yerusalem, engkau yang membunuh nabi-nabi dan yang melempari orang-orang yang diutus kepadamu! Berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau. Ayat ini bertentangan dengan Irrestible Grace. Ayat ini membuktikan, bahwa apa yang Allah rindukan manusia bisa menolaknya. Ini adalah keputusan Allah, menciptakan manusia yang memiliki kehendak bebas, yang bebas juga menolak dan melawan keinginanNya.
2. Ulangan 5:29 “Kiranya hati mereka selalu begitu, yakni takut akan Daku dan berpegang pada segala perintahKu, supaya baik keadaan mereka dan anak-anak mereka untuk selama-lamanya!” dalam bahasa asli “kiranya” adalah “cobalah”hati mereka selalu seperti itu.
Amsal 1:24,25 “oleh karena kamu menolak ketika aku memanggil, dan tidak ada orang yang menghiraukan ketika aku mengulurkan tanganku, bahkan kamu mengabaikan nasehatku, dan tidak mau mendengarkan teguranku. Ayat ini adalah personifikasi dari hikmat Allah.
Readmore...

Saturday 14 March 2009

PERBEDAAN KALVINIS DENGAN NON-KALVINIS

Bagian 1: Jika manusia harus beriman agar selamat, apakah berarti ia punya andil dalam keselamatan?

Oleh Dr. Steven E. Liauw

Ketika mendiskusikan mengenai masalah Kalvinisme, banyak terjadi salah pengertian dan debat kusir, karena tidak mengerti inti perbedaan satu pandangan dengan lainnya. Akibatnya, kedua belah pihak ngotot pada posisinya masing-masing, dan saling menyalahkan, bahkan tanpa benar-benar mengerti apa yang dimaksud oleh pihak lawan. Tentu, ini diperparah ketika suatu istilah dipakai dengan dua pengertian yang berbeda, sehingga diskusi tidak pernah mencapai titik temu. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui, di mana letak perbedaan yang sebenarnya, antara seorang Kalvinis dengan seorang non-Kalvinis. Seri ini akan membahas satu-persatu, perbedaan-perbedaan krusial antara Kalvinis dengan non-Kalvinis. Ada cukup banyak perbedaan, tetapi saya akan fokus kepada satu perbedaan di setiap seri.

Pertama-tama, sebelum membahas perbedaan, kita perlu melihat dulu, tentang persamaan mereka. Kalvinis maupun non-Kalvinis (yang Alkitabiah) percaya Alkitab sebagai Firman Allah dan standar kebenaran. Keduanya percaya bahwa keselamatan didasarkan pada karya pengorbanan Yesus Kristus di atas kayu salib, menggantikan manusia. Keduanya percaya bahwa keselamatan hanyalah karena kasih karunia, tanpa ada jasa atau usaha manusia di dalamnya.
Mungkin di sinilah Kalvinis mulai protes, dan menegaskan bahwa non-Kalvinis sedikit banyak mengandalkan jasa/usaha manusia untuk masuk Surga. Tetapi, itu tidak benar. Semua orang yang Alkitabiah akan mengatakan bahwa keselamatan tidaklah tergantung pada jasa/usaha manusia. Letak perbedaan sebenarnya adalah: KALVINIS MENGANGGAP IMAN PERCAYA SEBAGAI SUATU JASA/USAHA, SEDANGKAN NON-KALVINIS MENGATAKAN BAHWA IMAN PERCAYA BUKANLAH USAHA.
Inilah salah satu poin perbedaan mendasar antara Kalvinis dengan non-Kalvinis. Bagi orang-orang Alkitabiah, keselamatan adalah karena kasih karunia, oleh iman (Ef. 2:8). Artinya, tidak ada suatu apapun dalam diri manusia yang membuat dia pantas diselamatkan. Keselamatan adalah sepenuhnya kasih karunia. Tuhan menyelamatkan manusia bukan karena dia baik (manusia sudah bobrok dalam dosa), bukan karena dia hebat, bukan karena dia memiliki suatu hal yang menarik, bahkan bukan karena dia memiliki iman. Iman bukan dasar dari keselamatan. Kasih karunia adalah dasar dari keselamatan. Allah menyelamatkan manusia, semata-mata karena Ia berbelas kasihan, dan menaruh kasih kepada manusia.
Namun demikian, Alkitab juga tegas mengatakan, bahwa keselamatan itu adalah oleh iman. Artinya, iman adalah syarat dari keselamatan. Tuhan memutuskan untuk memberi keselamatan kepada manusia atas dasar kasih karunia, tetapi Tuhan menuntut syarat, yaitu iman. Harus dibedakan apa itu DASAR dan apa itu SYARAT.

ILUSTRASI: Ada seorang yang kaya dan baik hati, tinggal di rumahnya yang megah. Dia lalu melihat bahwa ada sejumlah anak-anak gelandangan yang tidak memiliki rumah, setiap hari tidur di bawah jembatan tidak jauh dari rumahnya. Ia lalu berbelas kasihan kepada mereka dan memutuskan untuk memberikan tempat tinggal yang layak kepada mereka. Ia memanggil mereka, lalu berkata: barangsiapa yang mencuci mobil saya, akan saya berikan tempat tinggal yang layak. Nah, di sini kita melihat, bahwa bagi seorang gelandangan yang mendapat rumah, DASAR kebahagiaannya adalah belas kasihan dari si orang kaya. Tetapi, SYARATnya adalah mencuci mobilnya. Mencuci mobil bukanlah alasan mengapa orang kaya itu mau memberikan rumah kepada anak gelandangan. Toh, mencuci mobil tidak sebanding dengan harga rumah yang akan dia berikan. Orang kaya itu sudah memiliki ALASAN/DASAR untuk memberi rumah, barulah ia mengajukan SYARAT bagi para gelandangan. ALASANnya adalah belas kasihannya, SYARAT yang dia ajukan adalah "mencuci mobilnya." Jadi, DASAR berbeda dengan SYARAT.

Nah, kembali ke realita, Allah menyelamatkan manusia dengan DASAR kasih karuniaNya (ini adalah alasan Allah), dengan syarat manusia itu harus beriman/percaya. Efesus 2:8 menyatakan hal ini: "Sebab KARENA (alasan) kasih karunia kamu diselamatkan OLEH (syarat/cara) iman..."
Mungkin ada yang berkata: "Nah, bukankah seperti dalam ilustrasi tadi, jika ada SYARAT mencuci mobil, maka berarti perlu andil/usaha untuk mendapatkan kasih karunia itu." Benar! Kalau syaratnya adalah "mencuci mobil," maka ada usaha manusia. Bahkan, syarat apapun yang diajukan, mengimplikasikan adanya usaha manusia, kecuali satu syarat: percaya/beriman atau menerima.(1)
Tetapi, disinilah letak perbedaan Kalvinis dan non-Kalvinis. Kalvinis bersikukuh, bahwa jika manusia diharuskan untuk menerima kasih karunia agar selamat, maka artinya manusia memiliki andil dalam keselamatan. Manusia lalu bisa menyombongkan diri, bahwa adalah karena jasa-jasanya ia selamat. Oleh karena itu, DALAM THEOLOGI KALVINIS, IMAN BUKAN SYARAT KESELAMATAN, IMAN ADALAH HASIL DARI KESELAMATAN! Menurut Kalvinis, manusia tidak menerima kasih karunia, barulah ia lahir baru, justru ia bisa menerima/percaya karena ia sudah dilahirbarukan. Sebagai contoh, Piper mengatakan: "Kami tidak berpikir bahwa iman mendahului.. ...kelahiran kembali. Iman adalah bukti Allah telah melahirkan kita secara baru."(2) MacArthur menegaskan bahwa "Regenerasi secara logis harus memulai iman." (3) Sproul menambahkan: "Regenerasi (kelahiran kembali) bukanlah buah atau hasil dari iman. Sebaliknya, regenerasi mendahului iman, sebagai suatu syarat bagi iman." (4)
Jadi, urutan Kalvinis terbalik dibandingkan dengan urutan Alkitab. Kalvinis mengatakan: lahir baru dulu (selamat) barulah beriman/menerima. Sedangkan Alkitab mengatakan: "Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya" (Yoh. 1:12). Jadi, menurut Alkitab, menerima dulu (percaya dulu), barulah menjadi anak Allah (dilahirbarukan) . Menurut Kalvinis, lahir baru adalah syarat iman. Menurut Alkitab, iman adalah syarat lahir baru. Efesus 2:8 sudah membuktikan hal ini. Ayat-ayat lain mengukuhkan hal ini: Kisah Rasul 3:19 (bertobat dulu baru dosa dihapus), Kisah Rasul 16:31 (percaya dulu, baru dosa dihapus/selamat) .(5)
Tetapi kita harus kembali kepada: mengapakah Kalvinis membuat urutan yang sedemikan aneh? Dari mana mereka mendapat ide bahwa manusia lahir baru dulu, barulah beriman? Ini semua berakar dari dua konsep mereka yang salah, yaitu:
1. Bahwa manusia tidak bisa beriman/percaya tanpa lahir baru (Poin ini akan secara mendalam dibahas di seri lain).
2. Bahwa jika manusia harus beriman/menerima kasih karunia untuk keselamatannya, maka itu sama dengan keselamatan karena usaha. Poin nomor dua ini yang menjadi pokok pembahasan kita di artikel ini.

Seorang Kalvinis yang pernah berdiskusi dengan saya menyatakannya seperti demikian: "Jika saya dapat memilih untuk menerima atau menolak kasih karunia Allah, maka ketika saya masuk Surga, saya dapat menyombongkan diri, bahwa saya telah memilih untuk menerima." Untuk memperkuat pandangannya, Kalvinis menyerang orang-orang Alkitabiah. Kalvinis berkata bahwa jika harus percaya dulu, baru selamat, maka berarti manusia menyelamatkan dirinya sendiri. Tetapi benarkah konsep ini? Sepertinya hanya Kalvinis yang berpikir demikian. Coba kita lihat dalam skenario hidup.

Ilustrasi: Ada seorang yang sangat miskin sekali. Dia tidak memiliki apa-apa, bahkan makan pun sulit. Tambahan lagi, dia tidak memiliki keterampilan apapun yang dapat dibanggakan. Suatu hari, seorang yang sangat kaya, memutuskan untuk memberikan kepada si miskin ini, suatu harta yang besar jumlahnya. Si miskin tidak perlu melakukan apapun, selain dari menerima hadiah itu. Hadiah itu gratis! Jika si miskin menerima harta tersebut, dapatkah ia berbangga, bahwa dia kini kaya karena usahanya? Dapatkah ia menyombongkan diri kepada teman-temannya bahwa ia berjasa atas kekayaan yang kini ia nikmati? Bisakah dia berdalih: "Saya hebat, karena saya memilih untuk menerima?" Dapatkah dia berkata bahwa karena dia menerima hadiah itu, dia sendirilah yang telah membuat dirinya kaya? Teman-temannya yang berpikiran waras tentu akan berseru: "Tinggal menerima saja, itu sih bukan hebat! Itu terima bersih namanya!" Tidak seorangpun yang belum terkontaminasi Kalvinisme, akan berpikir bahwa si miskin ini memiliki jasa dalam hal itu. Juga tidak ada yang akan berkata bahwa ia menjadi kaya karena usahanya. Semua akan mengatakan bahwa dia menjadi kaya karena kasih karunia dari sang orang kaya!

Demikian juga, tidak ada satu orangpun yang waras, yang belum terkontaminasi oleh Kalvinisme, akan mengatakan bahwa tindakan percaya/beriman merupakan jasa manusia dalam keselamatan. IMAN BUKANLAH USAHA/JASA! Tetapi Kalvinisme, secara sistematis menuduh bahwa kita yang mengajarkan "iman" sebagai syarat keselamatan, adalah orang-orang yang mengandalkan "usaha sendiri" atau "kehebatan sendiri" untuk masuk Surga. Tidak demikian bung! Secara logis, jika seseorang memberikan hadiah, memang harus diterima, dan tindakan menerima itu bukanlah suatu usaha atau jasa pihak penerima. Kalau ada orang-orang yang menolak hadiah tersebut, bukan berarti ada kehebatan di pihak orang-orang yang menerima, melainkan adanya kebodohan di pihak orang-orang yang menolak.
Jadi kita lihat, bahwa theologi Kalvinis, yang menyamakan iman dengan usaha, tidak sesuai dengan logika. Tetapi, logika bukanlah standar tertinggi kita. Lebih parah lagi, theologi Kalvinis ini menyalahi Alkitab. Alkitab dengan tegas menyatakan bahwa iman berbeda dengan usaha. Salah satu perikop yang jelas sekali dalam hal ini adalah Roma 4:1-6.

"Jadi apakah akan kita katakan tentang Abraham, bapa leluhur jasmani kita? Sebab jikalau Abraham dibenarkan karena perbuatannya, maka ia beroleh dasar untuk bermegah, tetapi tidak di hadapan Allah. Sebab apakah dikatakan nas Kitab Suci? "Lalu percayalah Abraham kepada Tuhan, dan Tuhan memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran." Kalau ada orang yang bekerja, upahnya tidak diperhitungkan sebagai hadiah, tetapi sebagai haknya. Tetapi kalau ada orang yang tidak bekerja, namun percaya kepada Dia yang membenarkan orang durhaka, imannya diperhitungkan menjadi kebenaran. Seperti juga Daud menyebut berbahagia orang yang dibenarkan Allah bukan berdasarkan perbuatannya: " (Roma 4:1-6)

Dari ayat-ayat di atas, jelas sekali bahwa Alkitab membedakan antara PEKERJAAN atau USAHA dengan IMAN! Iman bukanlah usaha! Alkitab tegas dalam hal ini! Jadi, jika kita mengatakan bahwa "anda perlu percaya Yesus untuk lahir baru," itu tidaklah mengajarkan keselamatan berdasarkan usaha/jasa sendiri.
Siapapun yang membaca Alkitab tanpa pernah dipengaruhi oleh Kalvinisme sebelumnya, tidak akan berkesimpulan bahwa "lahir baru" mendahului "iman." TIDAK ADA SATU AYAT PUN YANG MENGAJARKAN LAHIR BARU DULU BARU BERIMAN. Sebaliknya, untuk mempertahankan theologi mereka, Kalvinis membuat berbagai skema yang rumit. Untuk mengakomodasi Roma 4:1-6, sebagian Kalvinis menyatakan bahwa pembenaran adalah setelah percaya, tetapi lahir baru adalah sebelum percaya.
Jadi, urutan keselamatan Kalvinis:
1. Dilahirbarukan secara pasif oleh Tuhan (Regenerasi)
2. Menjadi percaya atau beriman atau menerima
3. Dibenarkan (Justification)

Urutan demikian sungguh tidak masuk akal, karena memisahkan regenerasi dengan pembenaran. Dalam skema Kalvinis, "iman" hanyalah formalitas belaka. "Iman" hanyalah suatu buah dari keselamatan itu sendiri, sama seperti pekerjaan baik adalah buah dari keselamatan. Kalau Kalvinis benar, maka "iman" bukanlah syarat atau alasan pembenaran, karena iman itu sendiri adalah efek dari kelahiran kembali.
Artinya, secara logis Kalvinis mengajarkan:
1. Orang lahir baru dulu, baru beriman
2. Orang menjadi anak Allah dulu (lahir ke dalam keluarga Allah), baru beriman
3. Orang memiliki hidup dulu (lahir baru), baru beriman

Sebaliknya, banyak sekali ayat-ayat Alkitab yang bertentangan dengan urutan tersebut:
1. Yoh. 6:47 berkata "barangsiapa percaya, ia mempunyai hidup yang kekal" BUKAN "barangsiapa memiliki hidup menjadi percaya."
2. Yoh. 1:12 berkata menyatakan bahwa yang menerima Yesus menjadi anak-anak Allah, BUKAN bahwa anak-anak Allah menjadi menerima Yesus.
3. Kis. 16:31 menyatakan bahwa percaya kepada Tuhan Yesus Kristus akan membawa selamat, BUKAN selamat dulu lalu akan menjadi percaya.
4. Yoh. 20:31 menyatakan "oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya," BUKAN memperoleh hidup agar bisa beriman. Ayat ini juga menegaskan iman sebagai SYARAT keselamatan.
5. Roma 10:13-14, percaya dulu, kemudian bisa berseru kepada Tuhan (dalam iman), lalu diselamatkan. BUKAN lahir baru dulu baru percaya.
6. 1 Kor. 4:15, orang-orang Korintus lahir baru, melalui percaya INJIL yang diberitakan Paulus. BUKAN lahir baru lalu menjadi percaya INJIL.

Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan, bahwa:
1. Kalvinis menganggap bahwa jika iman dijadikan syarat keselamatan, itu sama saja dengan menyelamatkan diri sendiri. Iman dianggap sebagai suatu jasa atau usaha dari pihak manusia.
2. Kalvinis menganggap bahwa orang lahir baru dulu, barulah ia menjadi percaya. Iman adalah buah dari keselamatan/ regenerasi.
3. Alkitab menyatakan bahwa iman adalah syarat keselamatan, kasih karunia adalah dasar keselamatan.
4. Alkitab menyatakan bahwa keselamatan oleh iman, bukanlah keselamatan oleh usaha manusia. Iman berbeda dengan usaha. Iman tidak dapat dianggap sebagai suatu jasa.
5. Alkitab menegaskan bahwa iman mendahului keselamatan, mendahului kelahiran kembali, mendahului hidup kekal, mendahului pembenaran, mendahului adopsi menjadi anak Allah.



(1) Saya jadikan ketiganya satu, karena memang ketiganya merujuk kepada hal yang sama. Dalam Alkitab, beriman sama dengan percaya. Keduanya adalah syarat keselamatan. Dalam Yoh. 1:12, menerima Yesus juga adalah syarat keselamatan. Artinya, beriman dan percaya pada Yesus sama dengan menerima Yesus. Dengan kata lain, iman adalah sarana untuk menerima Yesus. Kita menerima Yesus dengan cara beriman kepadaNya. Istilah "bertobat" juga satu paket dengan beriman atau menerima Yesus.

(2) John MacArthur, Faith Works (Dallas, Texas: Word Publishing, 1993), 62.

(3) John MacArthur, The Gospel According to Jesus (Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House, 1988), 172-173.

(4) R.C. Sproul, Chosen by God (Wheaton, Illinois: Tyndale Publishing House, 1986), 13.

(5) Kalvinis sering mencoba untuk menjelaskan kesulitan mereka demikian: bahwa orang lahir baru dulu, baru beriman, baru dibenarkan (diselamatkan) . Tetapi ini adalah usaha menjaring angin. Adakah orang yang lahir baru, tetapi tidak selamat? Proses kelahiran kembali sudah merupakan proses keselamatan. Jadi, tetap saja menurut Kalvinis: selamat dulu, barulah beriman.
Readmore...