GBIA SEMARANG Headline Animator

omakase

IMAN

IMAN TIMBUL DARI PENDENGARAN, DAN PENDENGARAN AKAN FIRMAN ALLAH. TANPA IMAN YANG BENAR, MAKA MANUSIA AKAN MELAYANI ALLAH TANPA PENGERTIAN YANG BENAR. DAN HAL ITU SAMA SEKALI TIDAK MENYENANGKAN ALLAH (ROMA 10:1-3, 17)

Monday 26 January 2009

JEMAAT (GEREJA) WALDENSES

Merupakan sebuah keindahan yang khas dari masyarakat kecil ini sehingga mereka bisa mempunyai tempat yang menyolok didalam sejarah Eropa. Telah lama ada kesaksian kebenaran di pegunungan Alpen, Italia, sampai ke Roma, seluruh wilayah Perancis Selatan, dan bahkan sampai jauh ke Belanda terdapat banyak orang Kristen yang tidak menganggap hidup mereka mahal di dunia ini, khususnya yang jelas ditemukan di wilayah Alpen. Lembah dan pegunungan ini dibentengi dengan kuat oleh alam karena jalan masuk dan benteng batu cadas dan gunung; dan hal tersebut mengesankan seakan-akan sang Khalik yang maha-bijak sejak dari permulaan telah merancang tempat itu seperti sebuah lemari untuk menyimpan perhiasan yang tak ternilai harganya, atau untuk mengamankan ribuan jiwa yang tidak mau tunduk kepada Baal (Moreland, History of the Evangelical Churches of the Valley of Piedmont, 5, London, 1658).

Disinilah sebuah gerakan baru, atau lebih tepatnya gerakan lama dengan kondisi berbeda yang mendapat pendorong. Peter Waldo atau Valdesius atau Waldensis, sebagaimana berbagai nama panggilannya, merupakan seorang warga Lyons, Perancis, yang kaya dan terhormat pada akhir abad keduabelas. Pada mulanya Waldo terpanggil untuk mempelajari Alkitab dan ia membuat terjemahan yang dibagikan kepada masyarakat. Pembacaan Injil membuat mereka mengikuti cara hidup Kristus. Waldo mengambil sikap hidupnya menurut Alkitab dan segera ia mendapat murid yang besar jumlahnya. Mereka memberikan harta-bendanya kepada orang miskin dan mulai berkhotbah di kota. Ketika mereka menolak untuk berhenti berkhotbah, mereka diusir dari Lyons. Dengan membawa isteri-isteri dan anak-anak mereka, mereka berangkat untuk melakukan misi penginjilan. Lahan telah dipersiapkan dengan baik oleh kaum Albigenses dan Cathari, demikian juga sebaliknya dengan para imam Katolik Roma yang tidak pernah puas dan amoral. Mereka berangkat berdua-dua dengan mengenakan pakaian wool dan sepatu kayu atau telanjang kaki. Mereka masuk ke Switzerland (Swiss) dan Italia Utara. Dimana-mana mereka disambut dengan sepenuh hati. Pusat kedudukan kaum Waldenses melengkung dari pegunungan Alpen Cottian dan Piedmont Timur, Provence Barat dan Dauphiny. Jumlah mereka berlipat ganda menjadi ribuan. Jelas bahwa pada awal kariernya Waldo adalah seorang Katolik
Roma, dan bahwa para pengikutnya meninggalkan ketahyulan lama mereka.

Telah banyak pembahasan mengenai asal-usul kaum Waldenses. Di satu pihak ditegaskan bahwa mereka berasal dari Waldo, dan tidak ada hubungan dengan gerakan-gerakan sebelumnya. Pandangan ini dipertahankan sepenuhnya, kemungkinan hanya oleh kalangan terbatas, karena hanya Comba yang mengakui bahwa “dalam pengertian yang terbatas, kekunoan mereka harus diakui” (Comba, History of the Waldenses in Italy, 12); dan ia juga menyatakan bahwa kaum Waldenses sendiri yakin dengan kekunoan mereka. Yang memegang pandangan ini kini umumnya menyatakan bahwa kaum Waldenses terpengaruh oleh kaum Petrobrusian, kaum Arnoldist dan lainnya. Lainnya menegaskan bahwa kaum Waldenses hanyalah merupakan sebuah bagian dari gerakan umum yang menentang Roma. Mereka berasal dari “gerakan umum yang sama” yang melahirkan kaum Albigenses (Fisher, History of the Christian Church, 272, New York, 1887). Perdebatannya adalah bahwa nama Waldenses berasal dari kata Italia Valdese, atau Waldesi, yang berarti sebuah lembah, sehingga kata itu berarti bahwa mereka tinggal di lembah-lembah. Eberhard de Bethune, 1160 AD., mengatakan: “Beberapa dari mereka menyebut diri mereka Vallenses karena mereka hidup didalam lembah penderitaan atau tangis” (Monastier, A History of the Vaudois Church, 58, London, 1848). Bernard, seorang kepala biara dari Biara Remonstrants, di Keuskupan Narbonne, kira-kira tahun 1209, mengatakan bahwa mereka disebut “Waldenses, yaitu dari lembah gelap, karena mereka terkait kesalahan atau kegelapan yang sangat tebal” (Migne, CCIV, 793). Waldo dinamakan demikian karena ia adalah seorang yang tinggal di lembah, dan memang seorang pemimpin yang terkemuka dari suatu kelompok yang telah lama ada. Pandangan ini didukung kuat oleh kebanyakan sejarawan Waldenses (Leger, Historie Generale des Vaudois, Leyden, 1669). Jelas bahwa mereka diberi nama berdasarkan nama setiap orang yang berasal dari kelompok-kelompok kuno itu (Jones, History of the Christian Church, 308). Jacob Gretscher dari Society Jesus, Profesor bidang Dogmatik di Universitas Ingolstadt, 1577 AD., telah menguji masalah tersebut sepenuhnya dan menulis tentang Waldenses. Ia menegaskan kekunoan Waldenses yang sudah sangat tua dan menyatakan bahwa adalah keyakinan dia “bahwa orang Toulousian dan Albigenses yang dihukum pada tahun 1177 dan 1178 tidak lain adalah kaum Waldenses. Sebenarnya, doktrin, disiplin, kepemerintahan, sikap, dan bahkan kesalahan yang dituduh kepada mereka menunjukkan kaum Albigenses dan Waldenses merupakan cabang berbeda dari sekte yang sama, atau yang belakangan bersumber yang terdahulu” (Rankin, History of France, III, 198-202).

Asal-usul Waldenses yang paling jauh telah dinyatakan dan diakui oleh musuh-musuh mereka dan dibenarkan oleh para sejarawan. “Saksi-saksi kami semuanya adalah Katolik Roma,” kata Vedder, ”orang-orang yang terpelajar dan mampu, namun sangat berat berburuk-sangka terhadap bidat. Hal ini membentuk praduga awal yang menentang keabsahan kesaksian mereka, dan merupakan sebuah peringatan bagi kita sehingga kita harus menimbang dan menelitinya dengan lebih hati-hati setiap detail sebelum menerimanya. Tetapi dilain pihak, saksi-saksi kita merupakan orang yang mempunyai kesempatan yang luar biasa untuk mengetahui fakta; diantara mereka adalah orang bertahun-tahun penuh dengan rasa ingin tahu, dan memberikan kita hasil interogasi sejumlah orang yang banyak” (Vedder, The Origin and Teaching of the Waldenses, dalam The American Journal of Theology, IV, 466). Ini merupakan sebuah sumber informasi yang sangat menarik.

Rainerio Sacchoni selama tujuhbelas tahun merupakan salah seorang pengkhotbah Cathari atau Waldenses yang paling aktif dari Lombardy; lama ia bergabung dalam ordo Dominican dan menjadi lawan Waldenses. Paus mengangkatnya menjadi Inquisitor Lombardy. Pendapat berikut sehubungan dengan kekunoan Waldenses disampaikan oleh salah seorang inquisitor Austria di Keuskupan Passau, kira-kira tahun 1260 (Preger, Beitrage zur Geschichte der Waldesier, 6-8). Ia mengatakan:
Diantara semua sekte, tidak ada lagi yang lebih merusak gereja selain kaum Leonist (Waldenses), karena tiga alasan: Pertama, karena ia yang terkuno: ada yang mengatakan bahwa mereka sudah ada sejak masa Sylvester (325 AD.); yang lainnya mengaitkan kepada zaman para rasul. Kedua, karena mereka yang paling luas tersebar. Hampir tidak ada negeri yang tidak ada mereka. Ketiga, karena jika sekte-sekte lain menimbulkan kengerian kepada orang-orang yang tidak mau mendengarkan mereka, kaum Leonist sebaliknya memiliki penampilan sikap luar yang sangat kudus. Dalam kenyataannya mereka menunjukkan kehidupan yang tak tercela di hadapan manusia dan melihat iman dan tulisan mengenai pengakuan imannya, mereka termasuk orthodoks. Kesalahan mereka hanya satu, yakni mereka menghujat Gereja dan para imam, dimana mereka menunjukkan permasalahan itu kepada orang awam yang secara umum mudah dihasut (Gretscher, Contra Valdenses, IV).

Dalam kalangan kaum Waldenses dipegang sikap bahwa mereka bermula dari sejak dahulu dan rasuli sejati. Kata David dari Augsburg, “Mereka menyebut diri mereka sebagai penerus para rasul, dan mengatakan bahwa mereka memiliki otoritas rasuli dan kunci untuk mengikat dan melepaskan” (Preger, Der Tractat des David von Augsburg uber die Waldensier, Munchen, 1876).

Sebuah pernyataan yang ada dari kaum Waldenses sendiri di dalam sebuah dokumen Waldenses yang menurut beberapa kalangan bertahun sekitar 1100, dalam sebuah salinan naskah yang bertahun 1404 dapat diperoleh pendapat mereka mengenai masalah kekunoan mereka. Noble Lessons (Pelajaran Mulia), demikian nama naskah tersebut, mengatakan:

Kami tidak menemukan sama sekali didalam Perjanjian Lama bahwa terang kebenaran dan kekudusan telah benar-benar dipadamkan. Selalu saja ada orang yang berjalan dengan setia di jalan kebajikan. Jumlah mereka adakalanya menjadi sedikit; namun tidak pernah sirna sama sekali. Kami percaya bahwa hal yang sama juga terjadi pada masa Yesus Kristus hingga kini; dan selalu akan demikian hingga akhir nanti. Karena jika perkara Allah didirikan, maka ia akan tetap berdiri sampai pada akhir nanti. Ia terpelihara lama oleh kebajikan agama yang kudus dan sesuai dengan sejarah kuno, para pemimpinnya hidup didalam kemelaratan dan kerendahan hati selama kira-kira tiga abad; yaitu dengan kata lain, pada masa Constantine. Dibawah kekuasaan Kaisar ini, yang merupakan seorang kusta, dimana ketika itu ada seorang didalam gereja bernama Sylvester, seorang Roma. Constantine datang kepadanya, dibaptis didalam nama Yesus Kristus dan disembuhkan dari sakit kustanya. Kaisar yang mendapatkan dirinya sembuh dari penyakit yang menjijikkan itu didalam nama Yesus Kristus, berpikir ia akan memuliakan dia yang telah bekerja didalam penyembuhan itu dengan melimpahkan kepadanya mahkota Kaisar. Sylvester menerimanya, tetapi rekannya, seperti yang dikatakan, menolak menerimanya, memisahkan diri darinya dan terus mengikuti jalan kemelaratan. Kemudian Constantine pergi ke daerah-daerah menyeberangi samudera dengan diikuti sejumlah besar prajurit Roma, dan membangun kota dimana ia memberi nama kota tersebut sesuai dengan namanya – Constantinopel – sehingga sejak saat itu bidat-bidat mulai dihormati dan bergengsi, dan kefasikan bertambah banyak di atas bumi. Kami tidak percaya bahwa jemaat Allah benar-benar telah meninggalkan kebenaran; sebab ada satu kelompok dihasilkan, dan seperti yang biasa terlihat, sebagian besar masyarakat menjadi fasik; sementara kelompok lainnya tetap setia kepada kebenaran yang telah diterima. Karena itu, sedikit demi sedikit, kesucian jemaat menurun. Delapan abad setelah Constantine, katanya muncul seorang bernama Peter, penduduk asli dari sebuah negeri bernama Vaud (Schmidt, Aktenstrucke ap. Hist. Zeitschrift, 1852 s. 239, MSS, Universitas Cambridge, vol. A, f. 236-238 dan Noble Lessons, V. 403, untuk keaslian Noble Lessons lihat Brez, Historie des Vaudois, I, 42, Paris, 1796).

Sejarawan besar gereja, Neander dalam komentarnya terhadap dokumen ini, mengusulkan bahwa hal itu seharusnya “berasal dari asal-usul yang lebih tua” dari tahun 1120. Ia melanjutkan: Namun bukan tanpa dasar kebenaran bahwa Kaum Waldenses dari masa ini menuntut kekunoan yang tinggi dari sekte mereka dan mempertahankan bahwa sejak masa sekularisasi gereja – yaitu seperti yang mereka yakini, sejak masa anugerah Constantine kepada uskup Roma Sylvester – akhirnya perlawanan demikian tiba-tiba meletup terhadap mereka, yang benihnya memang telah ada sebelumnya. Lihat Pilicdorf contra Waldenses, c.i. Bibl. Patr. Ludg. T. XXV, f. 278, (Neander, History of the Christian Church, VIII, 352).

Demikianlah tradisi dan demikianlah pendapat kaum Waldenses sehubungan dengan asal-usul mereka. Mereka mempertahankan sebuah “kekekalan rahasia selama Abad Pertengahan, berlomba dengan kekekalan Katolik” (Michelet, Historie de France, II, 402, Paris, 1833).
Theodore Beza, Reformer abad keenambelas, menyuarakan perasaan zamannya ketika mengatakan:
Sementara bagi kaum Waldenses, aku setuju untuk menyebut mereka sebagai benih utama jemaat (gereja) Kristen yang primitif dan lebih murni, karena mereka dijunjung tinggi, seperti yang sudah banyak dinyatakan, oleh pemeliharaan Tuhan yang ajaib, sehingga apakah badai dan prahara tiada henti yang menggoncang seluruh dunia Kekristenan selama berabad-abad, dan dunia Barat yang tertekan habis oleh Uskup Roma, demikian sebutan yang salah untuk mereka, maupun peningkatan penganiayaan mengerikan yang dinyatakan terhadap mereka, yang sejauh ini bisa menang karena membengkokkan mereka, atau berhasil membuat mereka tunduk dengan sukarela kepada tirani Roma dan pemberhalaan (Moreland, History of the Evangelical Churches, 7).

Jonathan Edwards, Rektor Universitas Princeton yang terkenal didalam karyanya “History of Redemption”, berkomentar tentang kaum Waldenses:
Dalam setiap masa kegelapan ini, tampil pribadi-pribadi tertentu di seluruh bagian Kekristenan yang membawa kesaksian menentang penyelewengan dan tirani gereja Roma. Tak satupun masa anti-Kristus, meski yang paling gelap sekalipun, dimana para sejarawan gereja tidak menyebutkan banyak nama hebat yang menunjukkan kemuakan terhadap Paus dan ibadah berhalanya. Allah dengan senang hati mempertahankan suksesi para saksi dengan tanpa gangguan sepanjang masa, di Jerman, Perancis, Inggris, dan negeri-negeri lainnya, seperti nama-nama yang ditunjukkan dan disebutkan oleh para sejarawan, dan memberikan catatan pada kesaksian yang mereka pertahankan. Banyak diantara mereka merupakan pribadi perorangan, banyak yang merupakan para hamba Tuhan, dan ada yang merupakan hakim dan pribadi-pribadi yang sangat terhormat. Dan ada sejumlah yang dianiaya dan dibunuh karena kesaksian tersebut di setiap masa.

Kemudian ia berbicara khusus tentang kaum Waldenses, dengan mengatakan:
Beberapa penulis kepausan sendiri mengakui bahwa orang-orang tersebut tidak pernah menyerah kepada gereja Roma. Salah satu penulis kepausan itu berbicara mengenai Waldenses, mengatakan kesesatan Waldenses merupakan kesesatan tertua di dunia. Diperkirakan bahwa orang-orang ini pertama kali pergi sendiri ke padang gurun ini, tempat rahasia diantara gunung-gunung untuk menyembunyikan diri dari kekerasan penganiayaan kaum fasik yang ada sebelum masa Constantine Agung.

Para sejarawan khusus Waldenses menyatakan asal-usul mereka sampai yang terjauh. Misalnya Mr. Faber menyatakan:
Bukti yang saya miliki sekarang mengemukakan bukti-bukti yang jelas, bukan saja bahwa kaum Waldenses dan Albigenses telah ada lebih dahulu daripada Peter dari Lyons; namun juga bahwa pada saat kemunculannya pada akhir abad keduabelas, mereka sudah dianggap sebagai dua kelompok yang sudah sangat tua. Karena itu selanjutnya, bahkan pada abad keduabelas dan ketigabelas, gereja-gereja Valdensis karena demikian tuanya, sehingga musuh-musuh yang mengawasinya sendiri tidak ingat lagi kapan mereka mulai ada. Orang-orang Roma yang paling tahu pada masa itu berpura-pura untuk tidak menegaskan kapan adanya organisasi tersebut. Mereka tidak mampu menetapkan sebuah waktu yang khusus kapan gereja-gereja yang agung tersebut ada. Apa yang pasti mereka ketahui adalah bahwa mereka telah berkibar sejak lama, bahwa mereka jauh lebih tua daripada sekte manapun, bahwa mereka dengan sepenuhnya nyata ada melampaui daya ingat manusia (Faber, The Vallenses and Albigenses).

Sir Samuel Moreland berkata bahwa selang waktu antara Claudius dari Turin dan Waldo “tidak akan lagi menghalangi suksesi gereja-gereja yang berkesinambungan itu kecuali hanya seperti matahari atau bulan yang terhalang pada saat sinar mereka tergerhana oleh posisi yang saling menutupi, atau hanya sekedar seperti sungai Rhone atau Garonne kehilangan arus mereka karena kadang-kadang mereka terkubur dan tidak tampak” (Acland, The Glorious Recovery of the Vaudois, xxxvi).

Banyak halaman akan dihabiskan untuk menggambarkan karakter yang tulus dari Waldenses, tetapi hanya sedikit ruang yang akan digunakan untuk beberapa pernyataan dari musuh-musuh mereka. Untuk tujuan tersebut, kesaksian Claudius Seisselius, Uskup Agung Turin menarik. Ia mengatakan: “Bidat mereka merupakan pengecualian, mereka secara umum hidup lebih murni daripada orang-orang Kristen yang lain. Mereka tidak pernah bersumpah kecuali jika dipaksa [sebuah karakter Anabaptis] dan jarang menyebut nama Tuhan dengan sembarangan. Mereka memenuhi janji dengan tepat waktu; dan hidup kekurangan materi hampir dalam segala sisi; mereka menyatakan iman untuk taat pada doktrin dan kehidupan yang rasuli. Mereka juga mengaku bahwa adalah keinginan mereka untuk menanggulangi segala hal hanya berdasarkan kesederhanaan iman, dengan kemurnian kesadaran, dan integritas hidup; bukan berdasarkan filosofi yang menyenangkan dan theologi yang rumit”. Dengan sangat terus terang ia mengakui: “Kehidupan dan moral mereka sempurna, tak tercela dan tiada kesalahan di hadapan manusia, serta menenggelamkan diri dengan sungguh-sungguh taat kepada perintah Tuhan” (Perin, Hist. des Vaudois, I, V, Geneva, 1618).

Pada masa penganiayaan terhadap kaum Waldenses dari Merindol dan Provence, seorang biarawan tertentu ditugaskan oleh Uskup dari Cavaillon untuk menyelenggarakan sebuah konferensi dengan mereka, sehingga mereka bisa diyakinkan kesalahan-kesalahan mereka, dan pertumpahan darah dapat dicegah. Tetapi sang biarawan kembali dengan kebingungan, karena mendapatkan bahwa seumur hidup ia belum pernah mengetahui demikian banyak ayat-ayat Alkitab seperti yang dipelajarinya dalam beberapa hari, sehingga ia berbalik memihak kepada para bidat tersebut. Namun sang Uskup mengirim sejumlah doktor, dan anak muda yang belakangan datang dari Sorbonne, yang pada masa itu merupakan pusat theologi yang rumit di Paris. Salah satu hal yang diakui secara umum adalah bahwa ia lebih memahami doktrin keselamatan dari jawaban anak-anak kecil didalam katekismus daripada yang diperoleh dari semua perselisihan yang telah didengarnya (Vecembecius, Oratio de Waldensibus et Albigensibus Christianis, 4).

Setelah menggambarkan para penghuni lembah-lembah Fraissiniere tersebut, ia melanjutkan:
Pakaian mereka dari kulit kambing – mereka tidak punya kain linen. Mereka tinggal di tujuh lembah, rumah mereka dibangun dari batu api dengan atap rata yang ditutup dengan tanah lempung, yang jika tertimpa hujan meleleh atau terlepas, sehingga harus diratakan kembali dengan sebuah gilingan. Didalam rumah tersebut, mereka tinggal bersama dengan ternak mereka, terpisah hanya oleh sebuah pagar. Mereka juga memiliki dua goa yang terpisah untuk tujuan tersendiri, dimana yang satu digunakan untuk menyembunyikan ternak mereka, sedangkan satunya lagi adalah untuk dipakai sendiri jika diburu oleh musuh-musuh mereka. Mereka hidup dari susu dan daging rusa, yang melalui kebiasaan yang konstan, mereka menjadi pemburu yang handal. Meskipun hidup susah, mereka senang, dan hidup mengasingkan diri dari manusia lainnya. Salah satu hal yang sungguh luar biasa adalah bahwa orang-orang yang dari luarnya kelihatan liar dan kasar, ternyata memiliki moral yang demikian kuat tertanam. Mereka cukup memahami bahasa Perancis sehingga dapat mengerti Alkitab dan menyanyikan Mazmur. Jarang sekali ditemukan seorang anak kecil diantara mereka yang tidak dapat menyampaikan nilai kecerdasan iman yang mereka miliki. Dalam hal ini memang mereka mirip dengan saudara-saudara mereka di lembah-lembah yang lain. Mereka membayar upeti dengan penuh kesadaran, dan kewajiban-kewajiban tugasnya secara khusus tercatat didalam pengakuan iman mereka. Jika terjadi perang saudara, mereka keberatan untuk mengikutinya, dengan hati-hati mereka menyisihkan sebuah jumlah, dan pada kesempatan pertama mereka akan mengirimkannya kepada para pemungut pajak raja (Thaunus, Hist.sui temporis, VI, 16).

Prinsip istimewa yang pertama dari kaum Waldenses terletak pada perilaku keseharian mereka, dan diringkas didalam perkataan rasul: “Kita harus tunduk kepada Allah, bukan kepada manusia”. Hal ini diterjemahkan oleh Katolik Roma sebagai sebuah penolakan untuk tunduk kepada otoritas Paus dan para wali gereja. Semua serangan awal terhadap mereka berisikan tuduhan ini. Padahal ini merupakan sebuah penegasan positif alkitabiah untuk kemerdekaan beragama, dan berisi prinsip-prinsip kebebasan agama yang diakui oleh Anabaptis pada masa Reformasi.

Prinsip istimewa yang kedua adalah otoritas dan penggunaan Alkitab yang luas. Sekali lagi disini kaum Waldenses mendahului Reformasi. Alkitab adalah kitab yang hidup, dan diantara mereka ada yang hafal seluruh Alkitab diluar kepala.

Prinsip ketiga adalah pentingnya untuk mengajar (berkhotbah) dan hak dari orang awam untuk melaksanakan fungsi tersebut. Peter Waldo dan para sahabatnya adalah para pengkhotbah. Semua dokumen permulaan yang merujuk kepada praktek khotbah kaum Waldenses dituduh sebagai kesalahan yang paling berat, dan merupakan bukti pembangkangan dan arogansi (kesombongan). Alanus menyebut mereka sebagai pengkhotbah-pengkhotbah sesat. Innocent III menulis tentang kaum Waldenses dari Metz, dengan mengatakan bahwa hasrat mereka untuk memahami Alkitab merupakan hal yang terpuji, tetapi pertemuan mereka yang dilakukan secara rahasia adalah merampas kuasa fungsi berkhotbah dan merupakan hal yang jahat. Mereka berkhotbah di jalan-jalan raya dan di rumah-rumah, serta kapan saja ada kesempatan didalam gereja.

Mereka menyatakan bahwa wanita berhak untuk mengajar seperti halnya dengan laki-laki, dan ketika perkataan Paulus yang menghendaki wanita untuk berdiam diri didalam pertemuan jemaat dikutip, mereka menjawab bahwa hal tersebut adalah berkenaan dengan masalah mengajar, bukan merujuk kepada masalah berkhotbah (di hadapan jemaat umum – penerjemah), dan mereka mengutip Titus 2: 3-4: “Demikian juga perempuan-perempuan yang tua, hendaklah ... cakap mengajarkan hal-hal yang baik, dan dengan demikian mendidik perempuan-perempuan muda mengasihi suami dan anak-anaknya”. Mereka menyatakan bahwa hal tersebut adalah anugerah rohani, atau upah, dan bukan perintah gereja yang memberikan hak untuk mengikat dan melepaskan (lihat Mat.16: 19). Mereka melanggar sistim keimamatan yang paling hakiki.

Untuk menegaskan prinsip-prinsip fundamental ini, kaum Waldenses berdasarkan Khotbah di Bukit, menolak untuk bersumpah, vonis hukuman mati, dan purgatory serta doa untuk orang yang sudah mati. Kaum Waldenses menyatakan bahwa hanya ada dua jalan setelah mati, jalan ke surga dan jalan ke neraka (Schaff, History of the Christian Church, V, Pt. I, 502-504).
Gerakan Waldenses menyentuh banyak orang selama berabad-abad dan menarik orang untuk bertobat dengan berbagai sumber. Banyak orang Katolik Roma dimenangkan dan diantara mereka pasti ada juga yang membawa kesalahan beserta mereka. Selanjutnya, istilah Waldenses adalah umum, didalamnya pasti terdapat beberapa orang yang jatuh didalam kesalahan yang terlupakan. Nama tersebut mencakup orang-orang yang hidup di tempat-tempat luas yang terpisah dan terdiri dari berbagai adat-istiadat serta kemungkinan adanya doktrin yang lain. Pernah diselenggarakan sebuah pertemuan antara Poor men of Lombardy dan kaum Waldenses. Kaum Waldenses Italia dan Perancis barangkali mempunyai asal-usul yang berbeda. Dan didalam pertemuan mereka mendapatkan bahwa ada beberapa perbedaan di antara mereka. Kemungkinan bahwa di antara kaum Waldenses Italia (demikian kita namakan) melaksanakan baptisan bayi (Dollinger, Sektengeschichte, II, 52). Tidak ada catatan bahwa Waldenses Perancis, atau lebih tepatnya kaum Waldenses saja, pernah melaksanakan baptisan bayi. Sejak tahun 1184 ada persatuan diantara Poor Men of Lyons, demikian nama yang diberikan kepada para pengikut Waldo tersebut, dan kaum Arnoldist yang menolak baptisan bayi.

Pengakuan iman Waldenses mengindikasikan bahwa mereka tidak melaksanakan baptisan bayi. Ada sebuah Pengakuan Iman yang diterbitkan oleh Perrin, Geneva, 1619; Sir Samuel Moreland, menempatkan tanggal tersebut sebagai tahun 1120 AD. (Moreland, History of the Churches of Piedmont, 30). Tanggal tersebut barangkali terlalu awal, namun dokumennya sendiri meyakinkan. Didalam pasal keduabelasnya berbunyi demikian:
Kami menganggap sakramen adalah simbol dari hal-hal yang kudus, atau lambang-lambang yang kelihatan dari berkat-berkat yang tidak kelihatan. Kami menghormatinya secara tepat dan bahkan perlu bagi setiap orang percaya untuk menggunakan simbol-simbol tersebut atau bentuk-bentuk yang kelihatan jika memungkinkan. Meskipun demikian, kami pertahankan bahwa orang-orang percaya diselamatkan bukan karena simbol-simbol tersebut, jika mereka tidak mempunyai tempat maupun kesempatan untuk melaksanakannya (Perrin, Histoirie des Vaudois, I, XII, 53).

Pada tahun 1544 untuk menghilangkan prasangka yang diadakan untuk menentang mereka dan untuk menyatakan kemurnian mereka, kaum Waldenses melayangkan sebuah surat kepada Raja Perancis, yaitu sebuah Pengakuan Iman. Dalam pasal ketujuh yang berbicara mengenai baptisan berbunyi sebagai berikut:
Kami percaya bahwa didalam ordinansi baptisan, air merupakan tanda luar yang kelihatan yang menyatakan kepada kita yang oleh karena kebajikan karya Allah yang tak kelihatan, didalam kita terjadi pembaharuan pikiran dan penghapusan aib anggota kita melalui (iman didalam) Yesus Kristus. Dan melalui ordinansi ini kami diterima kedalam jemaat kudus anak-anak Allah, dengan didahului pengakuan iman dan perubahan hidup kami (Sleiden, The General History of the Reformation, 347, London, 1689).

Tulisan lain mengenai Waldenses juga tidak menyampaikan gagasan mengenai baptisan bayi. Saat itu muncul “Sesajen yang berhubungan dengan Antikris, Purgatory, Doa kepada Santo-Santa, dan Sakramen” yang diciptakan oleh Uskup Hurd pada abad ketigabelas. Ada sebuah bagian yang mengutuk Antikris ini karena “ia mengajarkan untuk membaptis anak didalam iman, dan menghubungkan hal tersebut dengan kelahiran baru, dengan ritual eksternal baptisan dan berdasarkan itulah perintah dilimpahkan, dan memang hal itu merupakan dasar Kekristenan” (Moreland, Churches of Piedmont, 148).

Sebuah katekismus (tanya-jawab theologi) berasal dari kaum Waldenses abad ketigabelas tidak mengisyaratkan baptisan bayi. Katekismus tersebut mengatakan bahwa gereja yang katolik, yaitu yang dipilih oleh Allah melalui karya Kristus, dikumpulkan bersama oleh Roh Kudus dan ditentukan untuk hidup kekal (Gilly, Waldensian Researches, I, lxxii, London, 1825), tidak berisi tentang baptisan bayi. Noble Lessons mengatakan: “Baptiskanlah orang yang percaya didalam nama Yesus Kristus” (Moreland, Churches of Piedmont, 112).

Ada sebuah Liturgi yang sudah sangat kuno yang digunakan oleh kaum Waldenses. Tatacara tersebut tidak berisi Petunjuk baptisan kanak-kanak. Robinson memberikan komentar, bahwa liturgi itu tidak menyebut masalah itu:
Tidak ada isyarat (tanda) mengenai cara curah/tuang atau percik; sebaliknya ada petunjuk untuk membuat seseorang penyembah berhala menjadi Kristen sebelum dibaptis, dan kemudian dilakukan pembasuhan kaki. Jadi petunjuk tersebut berbicara mengenai penilik yang menyampaikan pengakuan iman, sebagai berikut: “Saudara-saudara kekasih, sakramen illahi sebenarnya bukan masalah yang harus diteliti, seperti halnya iman, dan bukan saja iman, namun juga rasa takut, karena tak seorangpun dapat menerima pengajaran iman, kecuali ia memiliki dasar, yaitu takut akan Tuhan ...Kalian akan mendengar pengakuan iman, oleh karena itulah pada hari ini, karena tanpa hal tersebut, Kristus tidak akan bisa dinyatakan, atau engkau tidak akan bisa menyatakan iman, ataupun pembaptisan dilaksanakan.” Setelah sang penilik mengulangi pengakuan iman, ia menguraikannya secara terperinci dengan merujuk kepada tiga kali penyelaman, dan menutupnya dengan pengulangan ibadah mengenai pentingnya kemutlakan iman agar layak mengambil bagian didalam baptisan (Robinson, Ecclesiatical Researches, 473-474).

Katolik Roma segera berhadapan dengan kaum Waldenses mengenai masalah baptisan. Sidang Lateran, 1215 AD. dengan menunjuk kepada Waldenses, menyatakan bahwa baptisan “didalam air” berguna bagi “baik kanak-kanak maupun orang dewasa” (Maitland, Facts and Documents, 499). Banyak sekali penulis Katolik Roma yang berpendapat demikian. Salah satunya mengatakan: “Saya memberikan perhatian yang besar terhadap kesalahan dan pembelaan mereka”. Beberapa penulis tersebut dikutip dibawah ini.

Enervinus dari Cologne menulis sepucuk surat kepada St. Bernard mengenai Waldenses dengan mengatakan:
Mereka tidak percaya dengan baptisan bayi; menuduh dengan tanpa bukti bahwa kedudukannya di dalam Injil adalah, “Barangsiapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan” (Mabillon, Vetera Analecta, III, 473).

Petrus Clugniacensis, 1146 AD. menentang mereka didalam tulisan dan menyampaikan tuduhan berikut:
Bahwa bayi-bayi tidak bisa dibaptis, atau diselamatkan oleh iman orang lain, namun mereka harus dibaptis dan diselamatkan oleh iman mereka sendiri ... Dan bahwa mereka yang dibaptis ketika masih bayi, ketika sudah dewasa, harus dibaptis kembali ... itu baru baptisan yang dilaksanakan dengan baik (Hist. Eccl. Madgeburg, abad XII, c.v., 834).

Eckbert dari Schonaugh mengatakan:
Bahwa baptisan tidak ada gunanya bagi bayi, karena bukan ungkapan kemauannya sendiri, dan karena mereka tidak bisa menyatakan iman apapun (Migne, CXCV, 15).

Pictavius, 1167 AD. mengatakan:
Bahwa dengan mengaku Tuhan di mulut, mereka sebenarnya telah membatalkan segala sakramen Gereja – misalnya, baptisan kanak-kanak, ekaristi, tanda salib yang hidup, pembayaran persepuluhan dan iuran, perkawinan, lembaga-lembaga yang berhubungan dengan biara, dan segala kewajiban imamat dan kerohaniawan (D’Archery, Veterum aliquot Scriptorum Spicilegium, II).

Ermengard, 1192 AD. mengatakan:
Mereka berpura-pura bahwa sakramen ini tidak bisa diberikan kecuali kepada mereka yang memintanya dengan ucapan sendiri, karena itu mereka menyimpulkan kesalahan yang lain, bahwa baptisan tidak ada gunanya bagi bayi yang menerimanya (Migne, CCIV, 1255).

Alanus, seorang rahib dari ordo Cistercian, yang merupakan penulis banyak buku dan karena pembelajaran dan kemampuannya, ia diberi gelar Universalis. Ia meninggal pada tahun 1201. Ia berkata bahwa kaum Waldenses mengajarkan:
Baptisan tidak memberikan manfaat sebelum mencapai usia akil-balik. Bayi-bayi tidak mendapatkan apa-apa darinya, karena mereka belum bisa percaya. Karena itu calon yang akan dibaptis biasanya ditanya apakah ia percaya didalam Allah, Bapa Yang Maha Kuasa. Baptisan tidak berguna bagi orang yang tidak percaya, demikian juga sama hal terhadap seorang bayi. Mengapa mereka yang belum bisa diajar harus dibaptis ? (Migne, CCX, 346).

Stephen de Borbone merupakan seorang rahib dari ordo Dominican. Ia meninggal kira-kira tahun 1261, namun kemungkinan menulis sebuah catatan yang dikutip dibawah ini kira-kira pada tahun 1225. Naskah bukunya terdapat di Perpustakaan Sorbonne dan hanya sebagiannya saja dicetak. Ia mengatakan:
Salah satu argumentasi dari kesalahan mereka adalah bahwa baptisan tidak berguna bagi keselamatan anak-anak kecil, yang tidak memiliki motif maupun perbuatan imannya, seperti yang dikatakan di bagian terakhir Injil Markus (Dieckhoff, Die Waldenser im Mittelalter, 160).

Moneta, seorang rahib Dominican, yang menulis sebelum tahun 1240 AD. mengatakan:
Mereka mempertahankan kenihilan baptisan bayi, dan menegaskan bahwa tidak seorangpun diselamatkan sebelum mencapai usia pemahaman.

Rainerio Sacchoni, 1250 AD., menerbitkan sebuah katalog kesalahan Waldenses. Ia mengatakan:
Diantara mereka ada yang mempertahankan bahwa baptisan bukan diperuntukkan bagi bayi, karena mereka belum bisa percaya (Coussard, contra Waldenses, 126).

Salah satu Inquisitor Austria, 1260 AD., mengatakan:
Mengenai baptisan, ada yang salah mengatakan bahwa anak-anak kecil tidak diselamatkan oleh baptisan, karena Tuhan berkata, barangsiapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan. Mereka ada yang dibaptis kembali (Preger, Beitrage zur Geschichte der Waldesier).

David dari Augsburg, 1256-1272 AD. mengatakan:
Mereka mengatakan bahwa seseorang kemudian dibenarkan ketika pertama kali dibaptis, jika ia dibawa masuk kedalam bidat ini. Tetapi ada yang mengatakan bahwa baptisan tidak berguna bagi anak-anak kecil, karena mereka sebenarnya belum bisa percaya (Preger, Der Tractat des David von Augsburg die Waldesier).

Jalur yang lebih berpengaruh dari kesaksian masa itu jarang sekali ditemukan. “Hampir tidak ada gunanya untuk menjelaskan kesepakatan yang menyolok diantara pengajaran Waldenses tersebut dan Anabaptis abad keenambelas,” kata Profesor Vedder. Kesaksian tersebut secara mutlak mengatakan bahwa kaum Waldenses menolak baptisan bayi” (American Journal of Theology, IV, 448). Jika kaum Waldenses bukan kaum Baptis, maka tidak ada lagi bukti sejarah apapun.

Sama jelasnya bahwa bentuk baptisan adalah selam. Hal tersebut pada suatu masa merupakan praktek dari seluruh kalangan Kristen. Para penulis besar Katolik Roma menegaskan bahwa selam merupakan bentuk yang tepat dari baptisan. Peter orang Lombard yang meninggal pada 1164 AD. dengan tanpa batasan menyatakan hal tersebut sebagai pelaksanaan baptisan yang tepat (Migne, CXXII, 335). Thomas Aquinas merujuk cara selam sebagai praktek yang umum pada masanya, dan lebih menyukainya sebagai cara yang lebih aman, demikian juga dengan Bonaventura dan Duns Scotus. Mereka adalah doktor-doktor Gereja Katolik Roma yang terkenal pada abad Pertengahan. Mezeray, sejarawan Perancis membenarkan bentuk baptisan ketika mengatakan: “Dalam baptisan abad keduabelas, mereka mencelupkan si kandidat kedalam bak yang kudus untuk menunjukkan kesaksian yang terjadi didalam sakramen tersebut terhadap jiwa” (Mezeray, Historie de France, 288). Dan para penulis yang sezaman, Eberhard dan Ermengard didalam karya mereka “contra Waldenses”, menulis di penghujung abad keduabelas, berulang kali merujuk kepada selam sebagai bentuk baptisan kaum Waldenses (Lihat Gretscher, contra Waldenses, Didalam Trias Scriptorum contra Waldenses, Ingoldstadt, 1614; juga didalam Max. Bibl. Patr. XXIV, dan akhirnya didalam Gretscher’s Works, XII). Wall juga menandai orang-orang tersebut: “Oleh karena Perancis merupakan negeri pertama didalam Kekristenan yang tidak menyetujui baptisan anak-anak, maka mulailah antipaedobaptism yang pertama” (Wall, The History of Infant Baptism, I, 480). Mereka menolak baptisan bayi dan mempraktekkan celup (selam).

Mabillon, sejarawan besar Katolik Roma, memberikan sebuah catatan mengenai sebuah penyelaman, yang saat itu sering dilaksanakan oleh Paus sendiri, yang terjadi di Gereja St. John the Evangelist. Dikatakan bahwa Paus memberkati air dan
Kemudian sementara semua orang menempati tempatnya masing-masing, Yang Mulia mengundurkan diri ke ruang tengah St. John the Evangelist, disertai oleh beberapa putera altar yang melepaskan jubahnya dan mengenakan celana berlapis lilin dan baju jubah dan kemudian kembali ke tempat pembaptisan. Disitu telah menunggu anak-anak – sejumlah yang biasanya akan dibaptis oleh Paus.

Setelah Paus menanyakan pertanyaan yang biasa, ia menyelamkan tiga kali dan keluar dari tempat pembaptisan, hadirin melemparkan sebuah mantel ke baju jubahnya, dan ia kembali“ (Mabillon, Annales ordinis sancti Benedicti, I, 43). Bahkan para Paus di masa-masa tersebut mempraktekkan baptisan selam.

Setiap lembaga mengalami perubahan setelah perkembangannya surut. Pada masa senja Reformasi, segala sesuatu menjadi surut – iman, hidup, dan terang. Demikian juga dengan kaum Waldenses. Penganiayaan telah mengurangi jumlah dan menghancurkan semangat mereka dan pimpinan yang tinggal sedikit terpencar, kebingungan oleh kebangkitan kemenangan Reformasi. Sebagian besar telah pergi bersama gerakan Anabaptis. Karena hati yang sakit dan lelah, maka pada tahun 1530 sisa-sisa kaum Waldenses membuka negosiasi dengan kaum Reformer, tetapi persatuan tidak pernah tercapai sampai 1532. Sejak saat itu kaum Waldenses telah menjadi Pedobaptis.>

Buku-buku untuk bacaan dan rujukan lebih lanjut:
Fisher, 204, 219, 272.
Schaff, V, Pt., i, 469, 473-507.
Gieseler, III, 411-421.
Emilio Comba, History of the Waldenses of Italy.

No comments:

Post a Comment