Setelah Tuhan Yesus menyelesaikan pekerjaan di atas bumi dan sebelum terangkat ke dalam kemuliaan, Ia memberikan amanat kepada murid-muridNya sebagai berikut: “KepadaKu telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (Mat. 28: 18-20). Sehubungan dengan amanat ini Yesus memberikan otoritas kepada jemaatNya untuk memberitakan Injil ke seluruh dunia.
Sebuah jemaat Perjanjian Baru adalah sekelompok orang percaya yang sudah dibaptis yang secara sukarela menggabungkan diri bersama untuk memelihara (mempertahankan) ordinansi dan pemberitaan Injil Yesus Kristus.
Jemaat tersebut merupakan sebuah perkumpulan sukarela dan independen di antara jemaat-jemaat (gereja-gereja) lainnya. Jemaat tersebut bisa saja, dan dimungkinkan untuk berafiliasi dengan jemaat-jemaat lain di dalam hubungan persaudaraan; tetapi ia harus tetap independen dari segala campur-tangan luar, dan hanya bertanggungjawab kepada Kristus, yang adalah pemberi hukum tertinggi dan sumber dari segala otoritas. Dari sejak awal para pengajar dan para jemaat secara bersama-sama melaksanakan urusan gereja.
Dalam pengertian Perjanjian Baru, tidak ada organisasi yang merupakan sebuah Gereja (Jemaat) Umum atau Nasional, yang meliputi sebuah wilayah negara yang luas, yang terdiri atas sejumlah besar organisasi setempat (lokal). Jemaat (gereja) dalam pengertian alkitabiah selalu merupakan sebuah organisasi yang independen dan lokal. Gereja-gereja (jemaat-jemaat) yang bersaudara “dipersatukan hanya karena ikatan iman dan belas kasih. Independensi dan persamaan membentuk tubuh internal mereka” (Edward Gibbon, The History of the Decline and Fall of the Roman Empire, I, 554, Boston, 1854). Gibbon, yang selalu artistik dalam melakukan pembahasan, melanjutkan: “Begitulah lembutnya dan sama kedudukannya dimana orang Kristen diperintah lebih dari seratus tahun setelah wafatnya para rasul. Setiap kumpulan membentuk sendiri sebuah kelompok terpisah dan independen yang berasal dari, untuk dan kepada kepentingan mereka sendiri; dan bahkan bagian dari kelompok yang paling jauh inipun mempertahankan hubungan yang akrab, mutual (saling menguntungkan), mengadakan hubungan surat-menyurat dan utusan-utusan, kalangan Kristen belum berhubungan dengan kumpulan legislatif atau atasan apapun” (Ibid., 558).
Para pejabat gereja yang pertama, adalah para gembala, yang biasa disebut penatua (elder) atau penilik (bishop), dan kedua, para diaken. Mereka adalah para pelayan yang terhormat yang merupakan orang yang merdeka. Para gembala tidak memiliki otoritas yang lebih tinggi dari saudara-saudara yang lain, dan hanya karena pelayananlah, mereka memperoleh tingkat kehormatan yang baik.
Para penulis Episkopal yang kemudian, seperti Jacob dan Hatch, tidak mengambil sistim dari bentuk kepemerintahan alkitabiah yang mula-mula, namun selalu menyatakan bentuk kepemerintahan jemaat (yang mereka anut berasal dari jemaat) yang mula-mula, dan mengatakan bahwa episkopasi (kepenatuan/kepenilikan) adalah perkembangan yang kemudian. Di dalam Perjanjian Baru, penatua dan penilik merupakan nama berbeda untuk menggambarkan jabatan yang sama. Dr. Lightfoot, Penilik dari Durham, di dalam sebuah diskusi yang sangat melelahkan membahas tentang masalah ini, mengatakan:
Jelas, bahwa pada akhir Masa Kerasulan, dua golongan yang lebih rendah dari ketiga lapisan pelayanan tersebut benar-benar tidak dapat dipungkiri dan tersebar luas; namun bekas atau jejak episkopasi, demikian sebutan yang lebih pantas, sangat sedikit dan tidak jelas... Episkopasi dibentuk oleh golongan presbyterian untuk meninggikan posisi; dan gelar tersebut, yang tadinya biasa bagi semua orang, menjadi sebuah gelar
yang bergengsi yang lebih tepat dikatakan sebagai pemimpin mereka (Lightfoot, Commentary on Philippians, 180-276).
Dean Stanley menggambarkan pandangan yang serupa. Ia mengatakan :
Sesuai ketentuan jemaat (gereja) yang tegas yang berasal dari jemaat mula-mula, hanya terdapat dua golongan, yakni penilik dan diaken (Stanley, Christian Institutions, 210).
Richard B. Rackham (The Acts of the Apostles cii), AD. 1912, berpendapat mengenai kata ‘penilik’ (episcopos):
Kita bisa langsung mengatakan bahwa belum diperoleh pengertian yang pasti seperti yang tercantum di dalam surat Ignatius (tahun 115 AD), maupun pada masa kini, yakni mengenai patokan tunggal mengenai kepenilikan. Dari Kis. 20: 28, Tit. 1: 6-7, dan dibandingkan dengan 1 Tim. 3: 2f, dapat kita simpulkan bahwa episcopos (penilik) jelas adalah sebuah sinonim dari kata presbyter (penatua), dan bahwa kedua jabatan tersebut adalah identik (sama).
Knowling (The Expositors Greek Testament, II, 435-437) meninjau tulisan semua ahli, Hatch (Smith and Cheetham, Dictionary of Christian Antiquities, II, 1700), Harnack (Gebhardt and Harnack, Clement of Rome, edisi revisi, 5), Steinmetz, dsb., menyimpulkan sebagai berikut:
Perikop yang satu ini (Kis. 20: 28) juga sudah cukup untuk menunjukkan bahwa ‘presbyter’ dan ‘bishop’ pada mulanya secara praktis adalah identik (sama).
Jerome, pada akhir abad keempat, mengingatkan para penilik bahwa mereka menerima posisi yang lebih tinggi di atas para penatua, bukan karena institusi dari Allah seperti halnya dengan penggunaan posisi tersebut di dalam jemaat; karena sebelum pecah kontroversi di dalam gereja, tidak didapati adanya perbedaan di antara keduanya, kecuali bahwa presbyter (penatua) merupakan istilah yang berkenaan dengan usia, dan bishop (episcopos = penilik) merupakan istilah yang berkenaan dengan status (martabat) resminya; namun ketika manusia terdorong oleh Setan untuk mendirikan kelompok dan sekte dan bukannya hanya mengikut Kristus, kita sebut saja mereka kelompok Paulus, kelompok Apolos, atau kelompok Kefas, yang sepakat mengangkat salah seorang dari para penatua sebagai pimpinan dari penatua-penatua lainnya, sehingga di bawah pengawasan universalnya terhadap gereja-gereja, ia boleh membunuh benih-benih yang ingin memisahkan diri (Hieron. Comm. ad Tit. 1: 7). Para penulis agung dari Gereja Yunani setuju dengan Jerome di dalam mempertahankan identitas asli para penilik dan penatua seperti di dalam Perjanjian Baru. Mereka antara lain adalah Chrysostom (Hom.i. Ef. ad Fil. 1: 11); Theodoret (ad Fil. 1: 1); Ambrosiaster (ad Ef. 4: 11); dan kaum pseudo-Augustinian (Questions V et NT. qu. 101).
Terdapat dua ordinansi di dalam gereja yang sederhana pada masa itu, yakni Baptisan dan Perjamuan Tuhan. Baptisan merupakan pengakuan iman di dalam Kristus dari segi luarnya. Karena baptisan menyatakan sebuah kepercayaan di dalam kematian, penguburan dan kebangkitan Yesus Kristus, yang diikuti oleh kebangkitan semua orang percaya melalui Roh yang kekal.
Hanya orang percaya saja yang boleh dibaptis dan melalui sebuah pengakuan iman di dalam Yesus Kristus. Gereja/Jemaat terdiri atas orang-orang percaya atau orang-orang kudus. Di dalam Perjanjian Baru para anggota disebut sebagai “dikasihi Allah, yang dipanggil untuk menjadi orang-orang kudus”; dikuduskan di dalam Yesus Kristus”; “setia di dalam Kristus”; “dipilih Allah, kudus, dan dikasihi .” Syarat keanggotaan tersebut adalah pertobatan, iman, benar, dan diawali dengan baptisan yang melambangkan perubahan hidup.
Sehubungan dengan hal ini, menarik untuk dicatat bahwa semua Pengakuan Iman Pedobaptis (gereja yang melaksanakan baptisan bayi/kanak-kanak) hanya memasukkan orang-orang percaya di dalam definisi anggota jemaat yang sebenarnya. Definisi jemaat berikut ini dikutip dari Pengakuan Iman Augsburg dari Gereja Lutheran. Ia boleh dikatakan hampir mewakili yang lainnya. Pengakuan itu berbunyi:
Berbicara yang sebenarnya, bahwa gereja Kristus adalah sebuah jemaat anggota Kristus; yaitu orang-orang kudus, yang sungguh-sungguh percaya dan taat kepada Kristus sebagaimana mestinya.
Sedemikian universalnya definisi gereja ini di dalam semua Pengakuan Iman sehingga Kostlin, seorang Profesor Theologi di Halle mengatakan: “Pengakuan Reformed menggambarkan Gereja sebagai persekutuan orang-orang yang percaya atau orang-orang kudus, dan memelihara keberadaannya diatas pengajaran Firman yang murni” (Kostlin, Schaff-Herzog Religious Encyclopedia, I, 474).
Definisi di atas, diterapkan secara konsisten, tidak termasuk baptisan bayi, karena bayi belum bisa percaya, yang di dalam Perjanjian Baru selalu merupakan sebuah prasyarat untuk dibaptis. Pengajaran Perjanjian Baru sangat jelas mengenai masalah ini. Yohanes Pembaptis memberi syarat kepada mereka yang akan dibaptis agar sudah bertobat, beriman, melakukan pengakuan dosa dan hidup di dalam kehidupan yang benar (Mat. 3: 2; Kis. 19: 4). Yesus melakukan pemuridan terlebih dahulu dan kemudian membaptis mereka (Yoh. 4: 1), dan memberikan perintah khusus bahwa pengajaran harus mendahului baptisan (Mat. 28: 19). Di dalam pengajaran para rasul, pertobatan mendahului baptisan (Kis. 2: 38); para petobat dipenuhi dengan sukacita, dan hanya orang dewasa saja (laki-laki maupun wanita) yang dibaptis (Kis. 8: 6, 8, 12). Tidak ada catatan atau kesimpulan yang mengimplikasikan bahwa baptisan bayi dilakukan oleh Yesus maupun rasul-rasulnya.
Ini secara umum diakui oleh para ahli.
Dollinger, seorang ahli Katolik, Profesor di bidang Sejarah Gereja di Universitas Munich, mengatakan: “Tidak ada bukti atau tanda-tanda di dalam Perjanjian Baru bahwa para rasul membaptis bayi atau memerintahkan bayi-bayi dibaptis” (John Joseph Ignatius Dollinger, The First Age of the Church, II, 184).
Dr. Edmund de Pressence, seorang Senator Perancis dan Protestan mengatakan: “Tidak ada fakta positif yang mendukung praktek (baptisan bayi) yang dapat dikemukakan dari Perjanjian baru; bukti-bukti sejarah yang dinyatakan tidak meyakinkan” (Pressence, Early Years of Christianity, 376, London, 1870).
Banyak penulis buku yang membahas baptisan bayi akan langsung menegaskan bahwa hal tersebut tidak disebutkan di dalam Perjanjian Baru. Disini hanya akan dikutip salah satu penulis tersebut. Joh. W.F. Hofling, seorang Profesor Theologi Lutheran di Erlangen mengatakan: “Kitab Suci tidak memberikan bukti sejarah bahwa kanak-kanak dibaptis oleh para rasul” (Hofling, Das Sakrament der Taufe, 99, Erlangen, 1846, 2 vol.).
Sedikit sekali ahli pada masa kini yang akan keliru mengenai masalah ini. “Encyclopedia of Religion and Ethics” yang diedit oleh Profesor James Hastings dan Profesor Kirsopp Lake dari Universitas Leyden mengatakan: “Tidak ada indikasi baptisan bayi di dalam Perjanjian Baru”.
“Real Encyklopadia fur Protestantiche Theologie und Kirche” (XIX, 403, edisi ketiga), ensiklopedi Jerman yang hebat, mengatakan:
Praktek baptisan bayi tidak dapat dibuktikan pada masa kerasulan dan sesudah kerasulan. Kita memang sering mendengar tentang baptisan seisi rumah, seperti di dalam Kis. 16: 34; 18: 8; 1 Kor. 1: 16. Namun perikop terakhir yang dikutip, 1 Kor. 7: 14, tidak mendukung anggapan bahwa baptisan bayi adalah suatu
kebiasaan pada masa itu. Karena jika memang demikian tidak mungkin Paulus kemudian menulis “Andaikata tidak demikian, niscaya anak-anakmu adalah anak cemar”.
Kepala Sekolah Robert Rainy, New College, Edinburgh, seorang Presbyterian, mengatakan:
Baptisan mensyaratkan beberapa perintah Kristen, dan didahului dengan puasa. Ia menandakan pengampunan dosa masa lalu, dan merupakan titik balik kehidupan baru di dalam Kekristenan dan dengan inspirasi tujuan dan maksud Kristen. Ia merupakan ‘meterai’ seseorang yang tidak akan diganggu-gugat (Rainy, Ancient Catholic Church, 75).
Bentuk baptisan adalah masuk ke dalam air, atau menyelam ke dalam air. Yohanes membaptis di sungai Yordan (Mrk. 1: 5); dan ia membaptis di Ainon, dekat Salim “sebab disitu banyak air” (Yoh. 3: 23). Yesus dibaptis di sungai Yordan (Mrk. 1: 9), dan Ia “masuk ke dalam air” dan “keluar dari air” (Mat. 3: 16). Perikop-perikop simbolis (Rom. 6: 3, 4; Kol. 2: 12), yang menggambarkan baptisan sebagai sebuah penguburan dan kebangkitan yang dengan jelas menyatakan bahwa cara selam merupakan pelaksanaan baptisan Perjanjian Baru.
Istilah ini memang merupakan makna perkataan Yunani baptizein. Perkataan tersebut didefinisikan oleh Liddell dan Scott, yakni kosa kata sekuler Yunani yang digunakan di semua sekolah tinggi dan universitas, sebagai “menyelam atau di bawah air”. Seluruh pakar menyetujui pandangan ini. Prof. R.C. Jebb, Litt. D., University of Cambridge, mengatakan: “Saya tidak tahu apakah ada yang mempunyai wewenang dalam kosa kata Yunani-Inggris yang mengubah kata tersebut menjadi bermakna ‘memercik’ atau ‘menetes/mencurah/menuang’. Saya hanya bisa mengatakan bahwa pengertian tersebut bukan berasal dari kata tersebut di dalam kesusasteraan Yunani” (Letter to the Author, 23 September, 1898). Dr. Adolf Harnack, University of Berlin, mengatakan: “Tidak diragukan bahwa baptisan berarti selam. Tidak ditemukan bukti bahwa kata tersebut mempunyai arti yang lain di dalam Perjanjian Baru dan di dalam kepustakaan Kristen yang paling lamapun” (Schaff, The Teaching of the Twelve, 50).
Dr. Dosker, Profesor Sejarah Gereja dari Presbyterian Theological Seminary, Louisville, mengatakan:
Setiap sejarawan yang tulus akan mengakui bahwa kaum Baptis memiliki argumentasi yang lebih bagus, baik secara ketatabahasaan maupun sejarah mengenai bentuk baptisan yang berlaku. Kata baptizo berarti menyelam, baik di dalam kesusasteraan Yunani maupun dalam Alkitab bahasa Yunani, kecuali jika secara nyata menunjukkan pemakaian yang berubah makna (Dosker, The Dutch Anabaptists, 176, Philadelphia, 1921).
Tidak ada yang lebih pasti daripada jemaat-jemaat Perjanjian Baru yang secara seragam melaksanakan cara selam.
Selanjutnya Perjamuan Tuhan menunjukkan kematian Juruselamat sampai Ia datang kembali. Ia merupakan sebuah peringatan kekal atas tubuh yang dihancurkan dan darah yang tercurah dari Tuhan yang telah bangkit. Di dalam Alkitab, Perjamuan Tuhan selalu didahului oleh pelaksanaan baptisan, dan tidak ada catatan mengenai orang yang mengambil bagian Perjamuan yang belum dibaptis sebelumnya. Bahwa baptisan harus mendahului Perjamuan Tuhan diakui para pakar dari semua kelompok.
Dr. William Wall menyimpulkan dari seluruh bidang sejarah yang membahas masalah ini ketika mengatakan: “Karena tidak ada jemaat yang pernah melaksanakan Perjamuan kepada orang sebelum mereka dibaptis... Sebab dari semua kemustahilan yang pernah terjadi, tak satupun yang pernah mempertahankan bahwa seseorang harus mengambil bagian di dalam Perjamuan sebelum ia dibaptis” (Wall, The History of Infant Baptism, I, 632, 638, Oxford, 1862).
Kaum Baptis selalu menuntut bahwa ordinansi tersebut merupakan simbol dan bukan sakramen (alat yang menguduskan). Memang itulah inti pendirian mereka.
Presiden E.Y. Mullins secara singkat menyatakan sejarah pendirian Baptis sebagai berikut:
Mereka memandang garis besar unsur-unsur rohani Kekristenan dengan semangat dan kejernihan yang tinggi. Sama pentingnya seperti semangat dan kejernihan bentuk-bentuk yang kelihatan dari luar. Bagi mereka kelihatannya pokok kehidupan Kekristenan seakan-akan tergantung kepada bagaimana mempertahankan unsur-unsur rohani dan seremonial di tempatnya masing-masing. Tentu saja sejarah Kristen meneguhkan pandangan mereka. Bentuk-bentuk dan upacara bagaikan tangga. Kita dapat naik dan turun di atasnya. Jika kita menempatkannya sebagai simbol, maka jiwa-jiwa hidup diatas kebenaran yang disimbolkan. Jika kita mengubahnya menjadi sakramen, jiwa-jiwa kehilangan pokok kehidupannya sendiri, yaitu perjamuan rohani dengan Tuhan. Suatu upacara agama yang bersifat luar melahirkan pengertian pokoknya dari konteks dimana ia ditempatkan, dari sistim umum dimana ia membentuk bagian. Jika sebuah upacara dibentuk dalam konteks sistim kebenaran rohani, ia dapat menjadi sebuah unsur yang sangat diperlukan untuk kelangsungan kebenaran-kebenaran tersebut. Jika ia dibentuk didalam konteks sistim sakramen, ia bisa dan akan menjadi sebuah alat yang mengaburkan kebenaran dan memperhambakan jiwa. Persepsi nilai upacara sebagai simbol dan bahayanya sebagai sakramen inilah yang menjiwai kaum Baptis didalam pembelaan yang kuat terhadap penafsiran rohani atas ordinansi Kekristenan (McGlothlin, Infant Baptism Historically Considered, 7).
Gereja mula-mula merupakan badan-badan misi. Mereka diwajibkan untuk menyampaikan Amanat Agung yang diberikan Tuhan kita. Sebagai ketaatan kepada program misi yang direncanakan oleh Tuhan, murid-murid dalam beberapa generasi mengabarkan Injil kepada dunia-dunia yang dikenal.
Jemaat mula-mula pertama dibentuk oleh Yesus dan para rasulNya; dan setelah pembentukan jemaat yang pertama itu, semua jemaat (gereja) yang lain harus mencontoh jemaat tersebut. Jemaat-jemaat tersebut dibentuk untuk diteruskan di dunia ini sampai kerajaan-kerajaan di bumi ini menjadi Kerajaan Allah, digenapi di dalam Kristus. Nubuatan penuh dengan karakter Kerajaan Kristus yang kekal (Dan. 2: 44-45). Yesus menegakkan maksud yang sama di dalam jemaatNya dan menyampaikan janji tersebut kepada segala zaman. Ia berkata: “Di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaatKu dan alam maut tidak akan menguasainya” (Mat. 16: 18). Kata jemaat disini tak diragukan lagi dipakai di dalam pengertiannya yang biasa dan literal sebagai sebuah lembaga lokal; dan satu-satunya perikop dimana hanya ditemukan di dalam Matius (18: 17), sehingga harus diberi pengertian yang sama. Banyak sekali pakar yang mendukung pendapat bahwa perikop ini merujuk kepada jemaat (gereja) Kristus yang lokal dan kelihatan (Meyer, Critical and Exegetical Handbook to the Gospel of Matthew).
Pengertian kritis atas kata tersebut tidak berbeda jauh dari pengertian ini (Thayer, Greek-English Lexicon of the New Testament, 197). Kata ‘jemaat’ digunakan oleh Tuhan dan para rasul tidak begitu bertentangan dengan Theokrasi Yahudi, seperti sinagoga Yahudi, karena sinagoga selalu bersifat lokal (Cremer, Biblico-Theological Lexicon of the New Testament Greek, 330-331). Katolik Roma selalu menolak eksistensi jemaat rohani yang universal (Alzog, Universal Church History, I, 108-109). Sampai pada Reformasi Jerman praktis tidak ada pengertian jemaat yang lain. Ketika Luther dan lainnya memisahkan diri dari Gereja Katolik Roma, sebuah penafsiran baru atas perikop ini diterima untuk disesuaikan dengan pandangan yang baru; sehingga mereka meyakini bahwa Matius 16: 18 hanya menunjuk kepada kemenangan akhir Kekristenan. Namun jelas penafsiran ini jauh dari yang dimaksudkan oleh Tuhan.
Paulus menyampaikan sebuah janji yang besar: “Bagi Dialah kemuliaan di dalam jemaat dan di dalam Kristus Yesus turun-temurun sampai selama-lamanya. Amin” (Ef. 3: 21). Ellicott menerjemahkan perikop ini: “Kepada semua generasi dari zaman segala zaman.” Kemuliaan Kristus akan eksis dalam segala zaman didalam jemaat. Oleh karena itu, jemaat harus eksis dalam segala zaman. Bahkan orang-orang yang ditebus di dalam surga digambarkan didalam Alkitab sebagai sebuah jemaat.
Penulis percaya bahwa di dalam setiap zaman sejak Yesus dan para rasul, telah ada kumpulan orang percaya, jemaat, yang secara substansial mempertahankan prinsip-prinsip Perjanjian Baru seperti yang kini dinyatakan oleh kaum Baptis. Tidak ada rekayasa di dalam halaman-halaman ini yang meniru warisan para penilik, seperti yang direkayasa Katolik Roma, yang menelusuri kembali ke zaman para rasul. Rekayasa tersebut adalah “bekerja di dalam api untuk kesia-siaan belaka”, dan meneruskan sebuah pandangan yang salah mengenai sifat Kerajaan Kristus, dan kedaulatan Allah yang bekerja di atas bumi. Yesus sendiri ketika menjawab permintaan kaum Farisi yang ditujukan kepadaNya (Luk. 17: 20-24), membandingkan KerajaanNya dengan kilat, memancarkan sinarnya dengan kedaulatan tertinggi yang tak tertahankan dari ujung langit yang satu ke ujung langit yang lain. Dan gambaran ini sesuai dengan urusan Allah di dalam kerajaan rohani. Dimanapun terdapat orang-orang yang dipilih Allah, maka ketika waktuNya tiba , Ia akan mengirimkan Injil untuk menyelamatkan mereka, dan jemat-jemaat yang sesuai kehendakNya akan diatur (William Jones, The History of the Christian Church, XVII, Philadelphia, 1832).
Perjanjian Baru mengakui kesederhanaan yang demokratis, bukan sebuah monarkhi yang hirarkhis. Tidak ada kekacauan, namun yang ada adalah pernyataan prinsip-prinsip yang kekal. Tidak ada isyarat yang menyatakan tidak adanya kesinambungan jemaat, tetapi adanya kesinambungan jemaat itu sudah pasti, namun penekanan kita adalah bahwa hal ini bukan merupakan perhatian yang dominan pada masa kerasulan. Penekanan tidak diletakkan kepada suksesi baptisan, atau golongan jemaat yang berdasarkan sejarah. Beberapa rasul merupakan murid dari Yohanes Pembaptis (Yoh. 1: 35), tetapi tidak ada catatan tentang pembaptisan yang lainnya, meski mereka telah dibaptis. Paulus, sang misionari besar, dibaptis oleh Ananias (Kis. 9: 17-18), tetapi tidak diketahui siapa yang membaptis Ananias. Tidak diketahui secara pasti asal-usul jemaat di Damaskus (Damsyik). Jemaat di Antiokhia merupakan pusat misionari luar yang besar, tetapi sejarah asal-usulnya tidak diberikan dengan jelas. Jemaat Roma telah ada ketika Paulus menulis surat kepada mereka. Kebisuan terjadi di seluruh Perjanjian Baru, namun terdapat semacam pengulangan yang konstan, keteguhan kepada doktrin-doktrin fundamental, dan sebuah pernyataan prinsip. Hal tersebut menandai seluruh masa kerasulan dan untuk hal tersebut, setiap masa sejak masa tersebut mempertahankannya.
Pengulangan tersebut diakui, bahkan juga ketika kesalahan diketahui. Murid-murid ingin Yesus menegur seseorang yang bukan pengikut Tuhan (Mrk. 9: 40), tetapi Yesus menolak melakukannya. Jemaat Korintus tidak sempurna di dalam melaksanakan perintah Tuhan dan di dalam kehidupan. Para pengajar Yudaisme terus menerus menodai Injil, dan Yohanes sang Penginjil, dalam hari-hari terakhirnya, memerangi kesalahan busuk, tetapi doktrin-doktrin agung tentang karya penebusan Kristus, percaya dan pertobatan, baptisan atas orang-orang yang sudah percaya, kemurnian jemaat, pembebasan jiwa, dan jaminan atas kebenaran-kebenaran, diakui dimana-mana. Kadang-kadang prinsip-prinsip ini ditentang dan orang yang mempertahankannya dianiaya, seringkali mereka ini dikaburkan; kadang-kadang mereka didukung oleh orang-orang yang tidak terpelajar, dan pada waktu yang lain didukung oleh para lulusan universitas yang brilian, yang seringkali mencampur-adukkan kebenaran dengan spekulasi-spekulasi filosofis; namun selalu, biasanya dibawah keadaan-keadaan yang sangat bervariasi, prinsip-prinsip ini muncul ke permukaan.
Gereja (jemaat-jemaat) Baptis memiliki ikatan organisasi yang paling ramping, dan kepemerintahannya yang kuat tidak berdasarkan pemerintahan mereka. Mereka seperti sungai Rhone, yang kadang-kadang mengalir sebagai sungai yang lebar dan dalam, namun kadangkala tersembunyi di dalam pasir. Namun meskipun demikian, ia tidak pernah kehilangan kesinambungan atau eksistensinya. Ia hanya tersembunyi selama suatu masa tertentu. Jemaat Baptis bisa menghilang dan muncul lagi dengan cara yang paling tidak dapat diduga. Penganiayaan dimana-mana dengan pedang dan api, dapat menyebabkan prinsip-prinsip mereka yang hampir punah menjadi tampil lagi, ketika dengan sebuah cara yang sungguh sangat ajaib Allah membangkitkan beberapa orang, atau sekelompok martir untuk menyatakan kebenaran.
Jejak-jejak kaum Baptis yang berabad-abad dapat dengan lebih mudah ditelusuri melalui darah daripada melalui baptisan. Ia lebih merupakan sebuah silsilah penderitaan daripada sebuah suksesi penilik; sebuah prinsip kemartiran, bukan sebuah keputusan dogmatik dari majelis-majelis; sebuah penghubung
kasih emas, bukan sebuah rantai suksesi besi, yang dengan sambil berusaha menggoyang mata rantai hubungannya kembali kepada para rasul, telah mengakibatkan sejumlah kaum Baptis yang protes diikat pada tiang pembakaran daripada menyatakan kebenaran Perjanjian Baru. Meskipun demikian, adalah suksesi kerajaan yang benar, bahwa di setiap masa kaum Baptis telah mendukung kebebasan bagi semua orang, dan mempertahankan bahwa Injil Anak Allah memerdekakan setiap orang di dalam Yesus Kristus.
Hasan Karman, 2005
Buku-buku untuk bacaan lebih lanjut dan rujukan:
George P. Fisher (Congregationalist), A History of the Christian Church, hal. 1-44.
Philip Schaff (Presbyterian), History of the Christian Church, Vol. 1.
John Alzog (Katolik Roma), Manual of Universal Church History, 4 volume.
Thomas J. Conant (Baptis), The Meaning and Use of Baptizein.
John T. Christian, Immersion, the Act of Christian Baptism.
Edwin Hatch, The Organization of the Early Christian Churches.
No comments:
Post a Comment