GBIA SEMARANG Headline Animator

omakase

IMAN

IMAN TIMBUL DARI PENDENGARAN, DAN PENDENGARAN AKAN FIRMAN ALLAH. TANPA IMAN YANG BENAR, MAKA MANUSIA AKAN MELAYANI ALLAH TANPA PENGERTIAN YANG BENAR. DAN HAL ITU SAMA SEKALI TIDAK MENYENANGKAN ALLAH (ROMA 10:1-3, 17)

Thursday 15 January 2009

JEMAAT PURBA (BAB 2)

Periode gereja purba (100-325 AD) sangat tidak jelas. Banyak bahan yang telah hilang; kebanyakan bahan yang tersisa telah ditambahi oleh para penulis dan penerjemah Kepausan Abad Pertengahan; dan kebanyakan telah diliputi kontroversi. Karena itu, peringatan harus diperhatikan sungguh-sungguh sebelum sampai pada kesimpulan yang tetap. Generalisasi terburu-buru terhadap kesalahan doktrinal yang meliputi seluruh Kekristenan dan gereja harus diterima dengan kewaspadaan yang tinggi. Tuduhan yang aneh dan mengerikan terhadap orang-orang Kristen mulai menjadi biasa. Kerahasiaan pertemuan kebaktian mereka dianggap kebencian yang disengaja karena tidak tahan menghadapi terang, bukan karena penyebab yang sebenarnya, yakni karena ketakutan terhadap penganiayaan. Orang-orang Yahudi khususnya getol membuat-buat dan menyebarkan kisah-kisah demikian. Dengan cara demikian, nama orang Kristen didiskreditkan.

Namun tentu saja pada masa-masa awal setelah kematian rasul Yohanes, orang-orang Kristen hidup sederhana dan rajin. Isaac Taylor, yang secara khusus menulis untuk menentang penilaian tahyul yang berlebihan pada masa patristik (zaman Bapak-bapak gereja purba), memberikan sebuah gambaran yang bagus atas kehidupan orang Kristen mula-mula. Ia mengatakan:

Saudara-saudara kita pada masa gereja mula-mula mengundang rasa hormat kita, misalnya kasih; karena semangat iman mereka yang mantap didalam hal-hal yang tidak terlihat dan kekal; kerapkali kesabaran mereka yang taat dibawah tekanan kesalahan yang paling menyedihkan; keberanian mereka mempertahankan pernyataan iman yang baik di hadapan filosofi yang bermuka masam, tirani sekuler, dan tahyul yang hebat; pemisahan mereka dari dunia dan penyangkalan diri yang menyakitkan; pelayanan mahal mereka yang tanpa pamrih dan sulit; kemurahan hati mereka dalam menyumbang, semuanya tidak bisa ditandingi; perhatian mereka yang seksama dan hormat kepada Alkitab; dan jasa yang satu ini, jika mereka tidak mempunyai jasa yang lain, adalah merupakan tingkat yang tertinggi, dan mereka patut dimuliakan dan hormat syukur dari gereja-gereja modern. Betapa sedikitnya pembaca Alkitab masa kini yang memikirkan apa yang harus dibayar orang-orang Kristen abad kedua dan ketiga hanya untuk menyelamatkan dan menyembunyikan harta karun suci tersebut dari kemarahan orang-orang yang tidak mengenal Tuhan (Taylor, Ancient Christianity, I, 37).

Sebuah gambaran yang paling indah dan menyedihkan diberikan oleh penulis Epistola ad Diognetum pada masa awal abad kedua. Ia mengatakan:

Orang Kristen bukan berbeda dengan orang lain karena perbedaan negara, bahasa, maupun institusi-institusi sipilnya. Perbedaan itu adalah karena mereka tidak hanya tinggal di kota mereka sendiri, atau menggunakan suatu bahasa yang khas, maupun menjalani sebuah bentuk kehidupan yang luar biasa. Mereka tinggal di kota-kota Yunani atau di kota-kota barbar, seperti yang kemudian terjadi; mereka mengikuti cara berpakaian di negara itu, makanan, dan hal-hal kehidupan lainnya. Namun mereka tetap menampilkan perilaku paradoks yang sangat baik dan diakui. Mereka tinggal di tanah kelahiran mereka, namun seperti orang asing. Mereka mengambil bagian dalam segala hal sebagai warga negara; dan mereka menderita segala sesuatu sebagai orang yang asing. Setiap negara asing adalah tanah air bagi mereka, dan setiap tanah kelahiran merupakan tanah yang asing bagi mereka. Seperti orang lain, mereka menikah; mereka memiliki anak, namun mereka tidak mencampakkan keturunan mereka. Mereka memiliki makan bersama, namun bukan memiliki isteri bersama. Mereka adalah daging, namun tidak hidup berdasarkan daging. Mereka hidup di atas bumi, namun menjadi warga surgawi. Mereka taat kepada hukum yang ada, namun mengatasi hukum dengan hidup mereka. Mereka mengasihi semua orang, namun dianiaya oleh semua orang. Mereka tidak dikenal, namun mereka dikutuk. Mereka dibunuh namun diberi hidup. Mereka miskin namun membuat banyak orang menjadi kaya. Mereka kekurangan, namun didalam segala hal mereka berkelimpahan. Mereka dicemooh, namun dimuliakan didalam cemoohan. Mereka difitnah, namun dibenarkan. Mereka dikutuk, tetapi mereka memberkati. Mereka menerima caci-maki, namun mereka memberi hormat. Mereka berbuat baik, namun dihukum seperti orang yang berbuat jahat. Ketika dihukum, mereka bersukacita bagai dihidupkan. Oleh orang Yahudi mereka diserang seperti orang asing, dan dianiaya oleh orang Yunani; dan penyebab kebencian yang tak terkatakan oleh musuh-musuhnya. Singkatnya, jika Roh benar-benar ada didalam tubuh, maka orang Kristen ada di dunia. Roh tersebar melalui semua anggota tubuh, dan orang Kristen tersebar di seluruh kota dunia. Roh tinggal didalam tubuh, namun Ia bukan berasal dari tubuh; demikian juga orang Kristen tinggal di dunia, tetapi bukan berasal dari dunia. Roh, tidak kelihatan, terus berjaga-jaga didalam tubuh yang kelihatan; demikian juga orang Kristen terlihat hidup di dunia, karena kekudusan mereka tidak terlihat. Daging membenci dan melawan Roh, namun menderita karenanya hanya karena ia menolak kesenangan daging; dan tanpa alasan dunia membenci orang Kristen hanya karena mereka menolak kesenangannya. Roh mengasihi daging dan anggota yang membencinya; demikian juga orang Kristen mengasihi orang-orang yang membenci mereka. Roh menyertai tubuh, namun mempertahankan kesatuan bersama; sehingga orang Kristen tertawan di dunia seperti didalam penjara; namun mereka mengetahui dunia. Roh yang kekal tinggal didalam tubuh yang tidak kekal; demikian juga orang Kristen tinggal didalam dunia yang korup, tetapi mencari surga yang tak dapat menyeleweng. Roh baik sekali untuk membatasi makanan dan minuman; dan orang Kristen terus bertambah meski disiksa setiap hari. Bagian yang telah ditetapkan Allah bagi orang Kristen di dunia, tidak dapat direbut lagi dari mereka (Epistola ad Diognetum, bab 5 dan 6, hal. 69 sq. Otto. Lips., 1852).

Melalui seluruh masa ini tak diragukan bahwa banyak gereja yang tetap berdiri di atas kebenaran Perjanjian Baru. Semakin mereka bersungguh-sungguh setia kepada prinsip-prinsip Alkitab, semakin kecil kemungkinan sejarah yang mencatat tentang sikap mereka itu. Hanya para bidat dan hal-hal yang tidak wajar yang menarik perhatian dan dicatat didalam sejarah pada masa itu.

“Selama tiga abad pertama Tuhan menempatkan Kekristenan didalam keadaan yang sangat tidak menguntungkan yang memungkinkan mereka menunjukkan kekuatan moral dan memenangkan dunia hanya dengan persenjataan rohani. Sampai pada kekuasaan Constantine, ia malah tidak memiliki eksistensi legal didalam Kerajaan Romawi, bahkan pada awalnya ditolak sebagai sebuah sekte Yahudi, kemudian difitnah, dilarang, dianiaya sebagai sebuah pembaharuan yang berkhianat, dan siapa yang menerimanya akan ditangkap dan dihukum mati. Namun, ia bukan menawarkan belas kasihan yang rapuh, seperti yang dilakukan oleh Islam sesudahnya, yang mengarah kecenderungan hati untuk menyeleweng, tetapi menentang gagasan-gagasan mutakhir orang Yahudi dan orang-orang kafir, mereka demikian menuntut pertobatan dan percaya yang tidak bisa ditawar-tawar, penyangkalan diri dan penyangkalan terhadap dunia, yang menurut Tertullian lebih diutamakan dan dijauhi oleh kelompok baru itu dengan lebih mengasihi kehidupan daripada mengasihi kesenangan. Kekristenan yang berasal dari Yahudi itu, dan kemiskinan dan kesia-siaan mayoritas penganutnya melukai kesombongan Yunani dan Roma” (Schaff, History of the Christian Church, I, 148).

Meskipun kesulitan-kesulitan yang luar biasa tersebut, Kekristenan mengalami kemajuan. Rintangan-rintangan itu mendapat pertolongan didalam pemeliharaan Tuhan. Penganiayaan menyebabkan kemartiran, dan kemartiran menjadi daya tarik. Tertullian berseru kepada orang-orang kafir: “Segala kejahatan licik kalian tidak menyelesaikan apa-apa; semua itu hanya merupakan sebuah daya tarik kepada kelompok ini. Semakin kami dihancurkan, semakin bertambah jumlah kami. Darah orang Kristen merupakan benih mereka.” Kesungguhan moral orang Kristen sungguh berbeda dengan penyelewengan yang sedang berlaku pada masa itu, dan sementara ia menolak pikiran yang sembrono dan yang menggiurkan, ia tidak pernah gagal mempengaruhi dengan kuat pikiran yang terdalam dan mulia. Kemajuan ini menyebar kedalam setiap bagian kerajaan. “Kami adalah kaum dari masa lalu,” kata Tertullian, “namun kami telah mengisi setiap tempat milikmu – kota, pulau, kastil, desa, perkumpulan, ditengah-tengah perkemahanmu, suku-bangsamu, sekutumu, istana, senat, dan forum. Kami tinggalkan engkau di kuil-kuilmu saja. Engkau boleh menghitung musuh-musuhmu, namun didalam satu propinsi saja kami lebih besar jumlahnya.”

Meskipun demikian, bahkan sebelum rasul terakhir meninggal, banyak bidat yang berbahaya dan menyedihkan yang tumbuh didalam gereja-gereja Kristen. Sebuah kecenderungan konstan yang meninggalkan kebenaran seperti yang dengan jelas dinyatakan di beberapa bagian didalam Alkitab. Kecenderungan terhadap Firman Tuhan tersebut telah dicatat oleh rasul Paulus, dan didalam beberapa Suratnya, ia menentang kesalahan tersebut. Tidak lama setelah kematian rasul terakhir, beberapa bidat yang berbahaya merangkak masuk kedalam gereja (jemaat), dan didukung oleh banyak orang yang terpelajar dan terhormat.

Tidak dapat dipahami bahwa semua, atau bahkan kebanyakan kesalahan doktrinal yang ditemukan kemudian didalam sejarah Katolik Roma, ditemukan didalam periode ini. Bukan hal itu yang dimaksud. Misalnya, pemujaan terhadap Maria dan patung-patung (berhala), transubstansiasi, kesempurnaan Paus, dan Konsep Kesucian Maria (Immaculate Conception) semuanya muncul kemudian. Kecenderungan tersebut lebih mengecilkan tuntutan untuk bertobat dan iman, eksperimen agama, dan lebih menekankan kepada tanda-tanda dan simbol-simbol luar. Hal tersebut mengkhayalkan bahwa simbol luar dapat menggantikan kasih karunia didalam. Titik penyimpangan kemungkinan dapat terlihat jelas didalam ekspresi keselamatan melalui baptisan, dan kecenderungan beberapa gereja terhadap keuskupan, dan mengesampingan kesederhanaan demokratis.

Salah seorang yang paling awal mengangkat suara untuk menentang penyelewengan tersebut berasal dari Gembala dari Hermas (Shepherd of Hermas). Sang Gembala mengatakan:

Adat-istiadat telah menjadi duniawi; disiplin diperlonggar; Gereja bagaikan seorang wanita tua yang sakit-sakitan yang tidak mampu berdiri diatas kakinya sendiri; para pemimpin dan yang dipimpin sama-sama kendor, dan banyak diantaranya menyeleweng, iri hati, serakah, munafik, suka bertengkar, pemfitnah, penghujat, penghina wanita, mata-mata, pembelot, pemecah-belah. Para pengajar yang pantas masih kurang, namun banyak nabi-nabi palsu, sombong, yang berhasrat mengejar jabatan keuskupan/kepausan, dimana hal terpenting didalam kehidupan bukan diletakkan kepada kekudusan dan keadilan, namun kepada perselisihan untuk mendapatkan posisi komando tersebut. Kini hari kemurkaan sudah diambang pintu; penghukuman akan sangat mengerikan; Tuhan akan mengganjar setiap orang sesuai dengan perbuatannya masing-masing.

Salah satu kesalahan yang paling awal dan paling menyakitkan adalah dogma tentang baptisan yang menyelamatkan (baptismal regeneration). Kesalahan ini dalam suatu bentuk dan lainnya telah merusak kehidupan dan sejarah yang penuh warna dari semua masa Kekristenan. Hal tersebut bermula sejak awal dan virusnya dapat ditelusuri pada masa ini, bukan saja diantara para ritualis, namun juga didalam standar orang-orang Kristen alkitabiah. Tertullian terpengaruh untuk menentang baptisan bayi itu, dan dalam keadaan yang lain, hal tersebut menjadi asal yan menakutkan dari bidat tersebut.

Walau demikian, gereja-gereja tetap bebas dan independen. Pada waktu itu belum ada uskup-uskup metropolitan, serta jabatan dan otoritas seorang paus belum dikenal. Roma pada masa itu tidak memiliki otoritas besar didalam dunia Kristen. “Kepausan Roma”, kata Kardinal Newman,”tidak mendapat perhatian besar pada seluruh masa penganiayaan. Lama sesudah itu, ia bukan satu-satunya pemegang otoritas. Tokoh besar dari Dunia Barat adalah St. Augustine; ia bukan seorang pengajar sempurna, namun membentuk intelektual Eropa” (John Henry Newman, Apologia pro Vita sua, 407, London, 1864). Dean Stanley menambahkan dengan tepat: “Telah ada para pejabat di keuskupan Konstantinopel, Aleksandria, dan Canterbury yang telah menciptakan banyak pengaruh didalam pemikiran Kekristenan dengan ucapan dibandingkan dengan paus manapun” (Stanley, Christian Institutions, 241, New York, 1881).

Namun ada sebuah kecenderungan yang menentang sentralisasi. Sebagaimana para gembala mengemban hak yang tidak dijamin kepadanya dengan Alkitab, beberapa gembala metropolitan menggunakan suatu otoritas yang tidak semestinya atas beberapa gereja yang lebih kecil. Kemudian gereja-gereja dari beberapa kota mencari dukungan dan perlindungan kepada para gembala dari kota-kota yang lebih besar. Akhirnya Roma, pusat politik dunia, menjadi pusat agama juga. Ketika itu, gembala di Roma menjadi Paus universal. Semua itu berkembang dengan lambat dan memerlukan berabad-abad untuk perwujudannya.

Gregorius Agung (AD. 590-604) merupakan “Paus pertama yang baik” dan bersama dengannya mulailah “perkembangan kepausan yang absolut” (Schaff, History of the Christian Church, I, 15). Pertumbuhan kepausan merupakan sebuah proses sejarah. Lama sebelum itu, para uskup di Roma telah membuat pernyataan-pernyataan arogan atas gereja-gereja yang lain. Hal ini khususnya dinyatakan oleh Leo I (AD. 440-461). Semua itu diakui oleh Hefele. Ia mengatakan:

Namun hal tersebut jangan disalah-mengerti, karena para uskup Roma tidak menerapkan wewenang kepausan dengan sepenuhnya di setiap tempat di Barat; yaitu di beberapa propinsi, uskup-uskup sederhana ditahbiskan tanpa disertai kerjasamanya (Hefele, I, 383).

Garis Kepausan Abad Pertengahan yang absolut berawal pada masa Gregorius. “Kekristenan di Roma,” kata Gregorovius, “menyeleweng dalam waktu yang sangat singkat; dan hal ini tidak mengherankan, karena lahan dimana benih doktrinnya ditaburkan telah busuk dan paling tidak cocok dibandingkan dengan lahan lainnya untuk menghasilkan buah yang baik ... Karakter orang Roma tidak berubah seperti dahulu, karena baptisan tidak dapat mengubah semangat pada masa itu” (Gregorovius, Storia della citta di Roma nel Medio Evo, I, 155).

Gregorius menolak sebutan “Uskup Universal”. “Aku tidak menjunjung hal itu sebagai sebuah kehormatan,” katanya, “dimana hal tersebut membuat saudara-saudaraku kehilangan kehormatannya. Kehormatanku adalah kekuatan yang solid dari saudara-saudaraku... Namun tidak akan ada lagi hal ini: menyeleweng dari firman yang menyebabkan kesombongan dan melukai kasih (kemurahan)” (Gregory, Ep. 30, III, 933). Walaupun demikian, secara sepihak konsep jemaat yang independen dan lokal, dengan satu dan lain cara telah dicampakkan; dan banyak kalangan Kristen terpanggil untuk menderita oleh hirarkhi yang jahat dan kerapkali tidak mengenal Tuhan.

Baptisan atas orang-orang percaya terus dipertahankan didalam jemaat. Bukan mempertahankan khasiat yang dianggap eksis didalam baptisan, baptisan bayi berkembang dengan lambat. Bahkan setelah pertama kali muncul, ia ditentang oleh banyak kalangan, dan dalam jangka waktu yang panjang hal tersebut tidak dipraktekkan.

Para penulis yang dikenal sebagai Bapak-bapak Apostolik, Clement, Barnabas, Ignatius dan Gembala dari Hermas, semuanya menuntut iman sebagai bagian dari orang yang akan dibaptis. Clement tidak menyebut baptisan didalam Suratnya kepada jemaat Korintus; tetapi ia mendesak para orangtua untuk “membiarkan anak-anaknya mengambil bagian didalam pelatihan Kristen” (Migne, Patrologiae gr., I, 255).

Barnabas mengatakan: “Tandai bagaimana Ia menggambarkan sekaligus, baik air maupun salib. Karena firman ini mengimplikasikan, diberkatilah mereka yang menempatkan kepercayaan mereka didalam salib, yang telah dibaptis didalam air; karena kataNya, mereka akan menerima upah bila tiba saatnya” (Migne, Patrologiae gr., II, 755).

Ignatius didalam tulisannya kepada Polycarpus sebagai berikut: “Jadilah baptisanmu sebagai baju zirah, dan iman sebagai tombak, dan kasih sebagai ketopong, dan kesabaran sebagai persenjataan lengkap” (Ibid, V, 847). Perintah baptisan adalah sebagai peringatan yang tidak termasuk baptisan bayi.

Dan Gembala dari Hermas berbicara mengenai mereka yang “telah mendengarkan firman, dan ingin dibaptis didalam nama Tuhan” (Ibid, Patrologiae gr., II, 906).

Para Bapak Apostolik menuntut iman harus mendahului baptisan, oleh karena itu mereka tidak mengenal baptisan bayi. Dr. Charles W. Bennett, profesor Theologi Sejarah di Garrett Biblical Institute, Methodist, mengatakan: “Bapak-bapak Apostolik tidak memberikan keterangan yang positif sehubungan dengan praktek gereja pada masa mereka yang berkaitan dengan baptisan bayi” (Bennett, Christian Archaeology, 391, New York, 1889).

Setelah generasi kedua Bapak-bapak Apostolik, Justin Martyr, AD. 114-168, kadang-kadang dikutip sebagai pendukung baptisan bayi. Setelah menghubungkan dengan sifat-sifat jahat manusia dan kebiasaan buruk manusia, Justin menyatakan bahwa,agar kita tidak menjadi anak-anak yang terpaksa dan bodoh, melainkan dapat menjadi anak-anak yang dipilih dan yang mengerti, dan didalam baptisan bisa memperoleh pengampunan dosa yang dahulu pernah diperbuat, yang dinyatakan didalam dia yang memilih untuk dilahirkan kembali, dan telah menyesali dosa-dosanya, nama Allah Bapa dan Tuhan semesta alam; Ia yang menyucikan pribadi orang yang telah dibersihkan hanya dengan menyerukan namaNya saja (Migne, VI, 419).

Kini secara umum jelas diakui bahwa Justin hanya mengenal baptisan orang-orang dewasa, meskipun ia percaya baptisan itu menyelamatkan.

Perikop terkenal dari Iranaeus adalah sebagai berikut:
Karena Dia datang untuk menyelamatkan semua orang melalui diriNya, semua orang kukatakan, yang melalui Dia dilahirkan kembali didalam Tuhan – bayi-bayi, dengan demikian bayi-bayi disucikan; seorang anak bagi kanak-kanak, dengan demikian menyucikan mereka yang ada didalam usia ini, dalam waktu yang sama menjadi contoh bagi orang-orang muda, dan dengan demikian menyucikan mereka bagi Tuhan (Migne, VII, 783).

Perikop ini barangkali terlalu buru-buru. Namun sama sekali tidak ada bukti hal tersebut mengacu kepada baptisan. Dr. Karl R. Hagenbach, profesor di Universitas Basel selama 50 tahun, mengatakan bahwa perikop ini tidak “memberikan suatu bukti yang tegas. Ia hanya mengekspresikan gagasan yang indah bahwa Yesus adalah Penebus bagi segala usia; namun ia tidak mengatakan bahwa Ia menebus anak-anak dengan baptisan air” (Hagenbach, History of Doctrines, 200, New York, 1869).

Origen, 185-254 AD., dikutip sehubungan dengan baptisan bayi. Perkataannya adalah sebagai berikut:
Dalam pertimbangan ini, dapat ditambahkan, bahwa dapat ditanya mengapa, karena baptisan dari jemaat diberikan untuk pengampunan dosa, baptisan diberikan menurut ketaatan jemaat, bahkan juga anak-anak (parvulis); karena anugerah baptisan akan kelihatan berlebihan jika anak-anak tidak memerlukan pengampunan dan diikutsertakan (Migne, XII, 492).

Perasaan yang sama ditemukan dalam uraiannya mengenai Surat Roma.
Tulisan asli dalam bahasa Yunani Origen sudah tidak ada lagi, dan hanya tinggal perkataan Origen yang diterjemahkan oleh Rufinus dan Jerome didalam bahasa Latin. Terjemahan ini diketahui tidak dapat dipercaya, dan diakui bahwa gagasan pada masa berikutnya dengan bebas dimasukkan kedalam tulisan Origen. Anak-anak (parvulis) yang dimaksud tersebut bukanlah ‘bayi’, karena didalam tulisan yang sama, kata ini digunakan untuk menggambarkan Yesus pada usia 12 (Migne, XIII, 1849). Apa yang bisa dinyatakan adalah bahwa Origen merujuk kepada baptisan anak-anak, bukan bayi, sebagai sebuah tradisi apostolik. Hal tersebut tidak terlalu berbobot, jika mengingat bahwa Origen merujuk kepada sejumlah hal yang berasal dari tradisi apostolik yang bahkan sama sekali tidak pernah disebutkan didalam Alkitab.

Bukti jelas yang paling awal atas baptisan bayi ditemukan didalam tulisan Tertullian yang menentangnya ( 185 AD.). Bukti langsung pertama yang mendukung baptisan bayi ditemukan pada tulisan Cyprian, didalam Sidang di Carthage, di Afrika tahun 253 AD. Didalam tulisan kepada salah seorang bernama Fidus, Cyprian mengambil alasan bahwa bayi harus segera dibaptis setelah lahir (Epistle of Cyprian, LVIII, 2). Namun pendapat ini tidak berdasarkan Alkitab dan tidak diterima oleh kalangan Kristen.

Sidang jemaat mula-mula semuanya menolak baptisan bayi. Sidang di Elvira atau Grenada, 305 AD., mewajibkan penundaan baptisan selama 2 tahun (Hefele, History of the Councils, I, 155,Edinburgh, 1871). Sidang di Laodikia yang dilaksanakan pada tahun 360 AD., mensyaratkan mereka yang akan “dibaptis harus menghafalkan pengakuan iman didalam hati dan menyatakannya” (Hefele, II, 319). Sidang di Konstantinopel menetapkan bahwa calon yang akan dibaptis harus “tinggal suatu waktu yang lama didalam pelajaran Alkitab sebelum mereka menerima baptisan” (Ibid. II, 368). Dan Sidang di Carthage, tahun 398 AD. menetapkan bahwa “katekisasi harus dilakukan dan disiapkan untuk baptisan” (DuPin, Bibliotheque universelle, c. 4, 282).

Banyak orang Kristen yang sangat terkemuka, meski lahir dari orang tua Kristen, tidak dibaptis saat masih bayi. Jumlah kalangan ini sangat banyak, dan rinciannya demikian banyak, namun hanya bisa disebutkan sedikit saja. Daftar jumlah tersebut termasuk sejarawan ternama Eusebius, kaisar Constantine Agung, Ephrem Syrus, dan Agustinus Agung.

Basil Agung lahir pada tahun 329 AD. dalam sebuah keluarga kaya dan saleh, dimana nenek-moyangnya dikenal sebagai para martir. Ibu dan neneknya adalah orang Kristen dan 4 saudara laki-laki dan 5 saudara perempuannya merupakan orang Kristen terkenal. Ia dibaptis pada usia 26. Dalam sebuah perikop luar biasa, 380 AD., ia dengan terus terang menyatakan penyimpangan zaman-zaman itu. Ia mengatakan:

Apakah engkau keberatan dan mengembara serta menunda baptisan? Padahal sejak kecil engkau telah dikatekisasi didalam Firman, dan engkau belum juga mengenal kebenaran? Setelah demikian lama mempelajarinya, belumkah engkau mengetahuinya? Engkau adalah pengembara sepanjang hidupmu. Seorang peragu sampai tua. Kapan engkau akan menjadi seorang Kristen? Kapan akan kami melihat engkau menjadi bagian dari kami? Tahun lalu engkau menunggu sampai tahun ini; dan kini engkau berpikir untuk menanti sampai tahun berikutnya. Perhatikanlah, bahwa dengan mengatakan kepada diri sendiri engkau akan hidup lebih lama, maka engkau tidak sungguh-sungguh mendambakan pengharapanmu. Apakah engkau tahu perubahan apakah yang akan terjadi besok? (Migne, XXXI, 1514).

Semua ini menunjukkan bahwa orang Kristen mula-mula terus membaptis berdasarkan pengakuan iman; dan bahwa baptisan bayi tidak menghasilkan tempat pijakan yang permanen sampai berabad-abad setelah masa para rasul.

Baptisan bayi tidak berkembang secara mendadak. Augustine, Uskup dari
Hippo-Regius, Afrika Utara (353-430 AD.) bukan orang pertama yang melaksanakannya; meskipun bukan dirinya saja yang membaptis bayi, namun ia merupakan pembela pertama dan yang paling kuat. Ia mengembangkan argumentasi theologis didalam pembelaannya. Sidang di Mela, Numidia, 416 AD., yang terdiri dari 15 anggota dan dibawah pimpinan Augustine, menetapkan:

Juga, merupakan hal yang menyenangkan bagi para uskup untuk memerintahkan bahwa terkutuklah barangsiapa yang menolak bahwa bayi yang baru dilahirkan oleh ibunya untuk dibaptis atau mengatakan bahwa baptisan dilaksanakan untuk penghapusan atas dosa-dosa mereka sendiri, tetapi bukan karena dosa asal yang diturunkan dari Adam, dan ditebus dengan penyucian kelahiran kembali (Wall, The History of Infant Baptism, I, 205).

Ini merupakan sebuah fakta yang bernada nubuatan masa depan bahwa sidang pertama yang mendukung praktek baptisan bayi yang disertai kutukan terhadap mereka yang tidak setuju dengan keputusan sidang. Selanjutnya ketetapan itu menunjukkan adanya penentang baptisan bayi pada masa itu, dan bahwa ritual baptisan bayi bukan merupakan kebiasaan universal pada masa-masa itu.

Ketentuan yang pertama yang dijadikan sebagai rujukan untuk mendukung baptisan bayi di Eropa, ditetapkan oleh Sidang Spanyol di Gerunda, 517 AD. Sidang tersebut terdiri atas 7 orang yang menganut 10 ketentuan. Patokan yang mencakup butir yang berkenaan disini adalah Pasal V:

Namun mengenai anak-anak kecil yang baru lahir, dengan sukacita kami tentukan, bahwa jika, sebagaimana biasanya, mereka lemah dan tidak minum air susu ibunya, meskipun pada hari yang sama dimana mereka lahir (jika mereka dipersembahkan, jika mereka dibawa) mereka boleh dibaptis.

Ketentuan itu merupakan instruksi katekisasi biasa yang mesti mendahului baptisan. Dalam kasus bayi sakit, karena ketakutan mereka akan terhilang karena mati sebelum dibaptis, maka mereka harus dibaptis selagi masih bayi. Tidak ada ketentuan yang dibuat untuk baptisan bayi yang kondisi kesehatannya baik. Juga terdapat keraguan apakah Sidang ini memang pernah dilangsungkan.

Charlemagne, 789 AD., mengeluarkan hukum pertama di Eropa untuk membaptis bayi. Ia terbelenggu perang yang sulit dihindarkan dengan orang Saxon, karena jenderalnya yang berani, Windekind, selalu mendapat sumber untuk mengalahkan rancangannya. Pada akhirnya sang kaisar berhasil menemukan sebuah cara yang mematahkan semangat Windekind, yakni dengan memisahkan pasukan darinya, dan hal ini benar-benar mengakhiri perang. Ini dilakukan dengan menhindarkan seluruh bangsa dari sebuah pilihan yang mengerikan; dibunuh oleh pasukan, atau menerima hidup dengan syarat mengaku sebagai orang Kristen dengan dibaptis; dan hukum-hukum yang keras masih tetap berlaku didalam kumpulan peraturan kerajaan ini, dimana mereka diharuskan, “dengan ancaman siksa kematian, untuk membaptis diri mereka, dan dengan denda yang berat untuk membaptis anak-anak mereka pada tahun kelahiran mereka”.

Bahwa hal ini merupakan penafsiran yang benar dari sikap jemaat mula-mula
bukanlah merupakan bayang-bayang keraguan. Semua sejarawan menguatkan pendirian ini. Beberapa orang yang sangat ahli dikutip disini.

Dr. Adolph Harnack dari Universitas Berlin menilai masa pasca apostolik demikian:
Tidak diperoleh petunjuk mengenai baptisan bayi pada masa itu; iman pribadi sajalah yang merupakan syarat yang diperlukan (Harnack, History of Dogma, I, 20 catatan 2).

Kemudian ia melanjutkan:
Ketidakjelasan menyeluruh terjadi sehubungan pelaksanaan baptisan anak yang dilakukan Jemaat, yang walaupun ia berasal dari gagasan bahwa upacara ini sangat diperlukan untuk keselamatan, namun bukan merupakan sebuah bukti bahwa pandangan tahyul mengenai Baptisan telah meningkat. Pada masa Irenaerus (II, 22, 4), dan Tertullian (de bapt. 18), pembaptisan anak telah menjadi sangat umum dan didasarkan kepada Mat. 19: 14. Kita tidak memiliki kesaksian apa-apa mengenai hal itu sejak awal mulanya ( Ibid, II, 142).

Dan akhirnya ia menyimpulkan bahwa hal tersebut dibangun pada abad kelima
untuk pemakaian umum. Penyerapan tersebut berjalan paralel seiring dengan kehancuran kekafiran (Ibid, II, 142).

Prof. H.G. Wood dari Universitas Cambridge mengatakan:
Seperti yang dikatakan oleh Harnack, kita ada didalam “ketidakjelasan menyeluruh ketika Gereja menerima praktek tersebut”. Rujukan baptisan anak abad ketiga yang jelas menafsirkannya dari sudut dosa asal, dan jika penerimaan praktek ini berdasarkan penafsiran ini, hampir boleh dipastikan ia merupakan perkembangan abad kedua yang lalu ... Rujukan kepada dosa asal didalam tulisan Clement dari Roma atau para penulis yang lebih awal dari Cyprian tidak dapat dipegang untuk mengimplikasikan sebuah pengetahuan tentang baptisan bayi. Selanjutnya, gagasan bayi perlu dibaptis demi pengampunan dosa adalah bertentangan dengan semua yang sudah diketahui oleh orang Kristen mula-mula mengenai masalah anak-anak ... Bahkan pada abad ketiga, baptisan bayi tidak bisa digambarkan sebagai kebiasaan Gereja. Bahwa Gereja mengizinkan orangtua membawa bayi-bayi mereka untuk dibaptis adalah jelas; bahwa adalah mungkin saja beberapa pengajar dan penatua yang mendorong mereka melakukan hal tersebut, meskipun tidak ada alasan untuk memperkirakan posisi Tertullian yang khas tersendiri. Tetapi baptisan bayi bukan diperintahkan pada masa itu, atau dimasukkan sebagai perintah didalam Gereja (Encyclopaedia of Religion and Ethics, II).

Dr. F.C. Conybeare mengatakan bahwa “hal yang utama adalah bahwa orang harus dibaptis atas kehendak bebasnya sendiri”. Lebih lanjut ia mengatakan:
Atas dasar tersebut adalah dibenarkan transisi sebuah baptisan yang dimulai sebagai sebuah perbuatan pentahbisan-diri yang tanpa disuruh-suruh menjadi sebuah opus operandum. Kita tidak mengetahui pasti berapa lama hal ini terjadi sebelum baptisan bayi menjadi biasa didalam Gereja Byzantium ... Perubahan terjadi lebih cepat didalam Kekristenan Latin dibandingkan dengan Kekristenan Yunani, dan didalam Kekristenan Armenia dan Georgia lebih lama lagi (Encyclopaedia Britannica, edisi ke-11, Bab tentang Baptisan).

Andre Lagarde mengatakan:
Sampai abad keenam, bayi-bayi hanya dibaptis ketika mereka ada didalam bahaya maut. Pada masa itu, praktek tersebut memperkenalkan pelaksanaan baptisan, meskipun mereka tidak sakit (Lagarde, Latin Church in the Middle Ages, 37).

Fakta-fakta ini semuanya menentang gagasan bahwa baptisan bayi merupakan
praktek gereja-gereja purba. Ketika diperkenalkan, ia menghadapi perlawanan yang terbesar, dan hanya dibawah kutukan dan dengan todongan pedang, maka baptisan bayi dapat ditekankan kepada orang-orang Kristen yang tidak mau menerimanya; dan sikap intoleran mengikuti sejarahnya sampai kini.

Tentang bentuk baptisan yang dipraktekkan didalam gereja-gereja purba sedikitpun tidak ada keraguan. Dapat dipastikan bahwa cara selam merupakan ketentuan yang universal, dipelihara dengan baik oleh beberapa orang yang teraniaya.

Terdapat 6 gambaran terperinci atau ritual baptisan yang diturunkan kepada kita. Semuanya diketahui oleh gereja-gereja dan kesemuanya menggambarkan cara selam. Keenam gambaran tersebut dikenal dengan nama Egyptian Acts (Gebhardt dan Harnack, Texts and Researches, VI, c.4 (28); The Canon Hipolyte, abad ketiga (Hipolyte, Buku VII, (29); The Apostolic Constitutions or Canons, dalam versi bahasa Yunani, Koptik, dan Latin, 350-400 AD.; Cyril of Jerusalem, 286 AD. (Migne XXXIII, 43); Ambrose of Milan, 397 AD.(Bunsen, Analecta, II, 465), dan Dionysius Areopagita, 450 AD. Ritual-ritual tersebut dipergunakan dengan luas didalam gereja-gereja dan menggambarkan praktek universal dengan cara selam.

Tentang praktek cara selam terdapat bukti di Afrika, Palestina, Mesir, Antiokhia dan Konstantinopel, serta di Kapadokia. Bagi orang Roma, kita memiliki kesaksian delapan ratus tahun tentang penggunaan cara selam. Tertullian menjadi saksi untuk abad kedua (Tertullian, De Bapt., c. 4); Leo Agung pada abad kelima (Fourth Letter to the Bishop of Sicily); Paus Pelagius pada abad keenam (Epist. Ad Gaudent); Theodulf dari Orleans pada abad kedelapan; dan pada abad kesebelas, orang-orang Roma menerapkan kepada subyek tersebut dengan selam “hanya dengan sekali” (Canisius, Lectiones Antiq., III, 281). Contoh-contoh ini menjawab cara yang digunakan orang Italia tersebut.

Ada juga kesaksian dari monumen Kristen mula-mula. Pada mulanya orang Kristen dibaptis di sungai-sungai dan mata air. Hal ini, menurut Walafrid Strabo, dilakukan dengan sangat sederhana (Migne, CXIV, 958). Kemudian oleh karena penganiayaan, orang-orang Kristen menyembunyikan diri; Catacombe-catacombe dilengkapi dengan banyak contoh tempat pembaptisan. Dr. Cote yang tinggal bertahun-tahun di Roma, dan dengan seksama meneliti masalah baptisan, mengatakan: “Pada masa kegelapan kekuasaan penganiayaan terhadap orang Kristen Roma purba, ditemukan tempat perlindungan yang dibuat tergesa-gesa di Catacombe-catacombe dimana mereka membangun tempat-tempat pembaptisan untuk melaksanakan upacara selam” (Cote, Archaelogy of Baptism, 151, London, 1876). Walaupun gambaran singkat mengenai tempat pembaptisan tidak bisa diuraikan disini, namun orang yang tidak dengan seksama mempelajari masalah tersebut akan terkejut dengan jumlah dan luasnya.

Kemudian ketika kebebasan beragama Kristen dijamin, banyak gereja yang didirikan. Pada mulanya tempat pembaptisan merupakan sebuah struktur tersendiri, terpisah dengan tempat kebaktian; namun kemudian menjadi kebiasaan untuk menempatkan tempat baptisan didalam gereja itu sendiri. Tempat-tempat pembaptisan demikian didirikan hampir di seluruh negeri dimana agama Kristen tersebar. Hal ini terutama di Italia. Cote memberikan daftar yang tak kurang dari 66 tempat pembaptisan didalam negeri itu saja (Cote, Baptisteries, 110). Setidak-tidaknya sampai pada abad kedelapan dan kesembilan tempat pembaptisan terus digunakan sepenuhnya di Italia. Tempat-tempat pembaptisan dibangun di Italia paling tidak sampai abad keempatbelas, sementara cara selam diteruskan di Kathedral Milan sampai berakhirnya abad kedelapanbelas.

Tempat-tempat pembaptisan tersebut dihiasi dan tentu saja penuh dengan
emblem, mosaik dan lukisan yang ditujukan untuk memperjelas bentuk baptisan. Apa yang disebut dengan Seni Kristen ditemukan didalam catacombe-catacombe, terdapat pada interior gereja dan pada perlengkapan mebel dan peralatan. Gambaran yang paling lama bukan bertanggal sebelum masa Kaisar Constantine (Parker, The Archaelogy of Rome, XII, 11, Oxford, 1877); banyak yang secara terus menerus diperbaiki, dan beberapa diantara yang paling terkenal terus berubah sedemikian rupa sehingga kehilangan karakter aslinya (Crowe dan Cavalcaselle, History of Painting in Italy, I, 22). Tidak diperoleh kesimpulan yang pasti dari sumber ini, namun pengajaran dari semua karya seni mula-mula itu mengindikasikan cara selam sebagai bentuk baptisan. Gambar-gambar tersebut menunjukkan pemandangan sungai, orang yang akan dibaptis berdiri didalam air, dan keadaan sekitarnya semua menunjukkan pelaksanaan baptisan yang primitif. Pendapat para profesor arkheologi dari universitas-universitas besar secara bulat menyatakan bahwa gambar-gambar kuno mengenai baptisan didalam catacombe-catacombe tersebut dan di tempat-tempat lainnya, menunjukkan ritual itu dilaksanakan dengan cara selam (Lihat Christian’s Baptism in Sculpture and Art, Louisville, 1907).

Baptisan dengan cara curah merupakan perkembangan yang lamban. Kemungkinan penyebutan cara curah yang paling awal ditemukan didalam Teaching of the Twelve Apostles yang terkenal (Bryennios, Didacha ton Dodeka Apostolon, Konstantinopel, 1883), yang menurut berbagai pendapat dinyatakan sebagai berasal dari abad yang pertama dari tujuh abad lainnya.

Novatian (250 AD.) menyampaikan kasus pertama yang tercatat mengenai baptisan kilinis atau baptisan untuk orang sakit (clinic baptism). Ketika terbaring sakit, ia dicurahkan air yang sebanyak-banyaknya, namun baptisannya dengan jelas disebut sebagai “pembatasan” atau “pengganti” (Eusebius, The Church History, 289, New York, 1890). Pencurahan hanyalah sekedar merupakan pengganti selam. Perancis merupakan negeri pertama yang mengijinkan baptisan dengan cara pencurahan demi menikmati kesehatan penuh (Wall, The History of Infant Baptism, I, 576). Hukum pertama untuk baptisan percik diberlakukan dengan cara sebagai berikut: “Paus Stephen III, ketika dibawa dari Roma oleh Astulphus, Raja dari Lombards pada tahun 753, melarikan diri kepada Pepin, yang baru saja merampas tahta Perancis. Waktu tinggal disana, para biarawan Cressy di Brittany berkonsultasi dengannya, menanyakan apakah alkitabiah jika pada saat dibutuhkan, baptisan dilaksanakan dengan menuangkan air ke atas kepala bayi. Stephen menjawab bahwa hal tersebut alkitabiah” (Edinburgh Encyclopedia, III, 236). Namun sampai pada 1311 AD., Sidang di Ravenna menetapkan: “Baptisan harus dilaksanakan dengan tiga kali percik atau selam” (Labbe dan Cossart, Sacrosancta Concilia, II, B, 2, 1586, Paris, 1671). Segera setelah itu, pemercikan menjadi sebuah kebiasaan di Perancis.

Selama 13 abad pertama, cara selam merupakan praktek yang normal di kalangan Kristen. Kata Dollinger , “Baptisan dengan cara selam terus menjadi praktek yang umum Gereja sampai pada abad keempatbelas” (Dollinger, The History of the Church, II, 294, London, 1840-42). Cara selam dipraktekkan di beberapa bagian Jerman pada abad keenambelas. Di Inggris selam dipraktekkan selama 1.600 tahun.

Pada saat kelahiran Yesus, kebebasan beragama tidak dikenal di dunia. Bahkan negara-negara republik purba juga tidak pernah mengenalnya. Socrates dengan segala heroisme moralnya, tidak pernah membangkitkan asumsi tersebut, bahwa kefasikan akan dihukum dengan maut. Dalam pembelaannya dihadapan para para hakim, ia berkata:

Kewajibanku adalah meyakinkan anda, jika aku bisa; namun anda telah bersumpah untuk mengikuti pendirian sendiri didalam menghakimi sesuai hukum – bukan membuat hukum tunduk kepada kehendak anda. Dan itu adalah kewajiban anda untuk berbuat demikian. Karena itu, jangan memaksa aku tampil dengan tidak hormat dengan merujuk kepada diri sendiri dan tidak beriman dalam penghormatan kepada anda, khususnya ketika aku sendiri membantah tuduhan yang diajukan oleh Miletus, bahwa aku hidup tidak saleh (Grote, History of Greece, VIII, 656).

Semua negeri penyembah berhala setuju bahwa negara mempunyai hak untuk mengatur segala masalah yang berhubungan dengan agama; dan warganya harus tunduk.

Sejak semula orang Kristen mengakui dan mendukung kebebasan agama. Darah penganiayaan ditaruh didepan doktrin ini. Tertullian dengan tegas mengatakan kepada para penyembah berhala bahwa setiap orang memiliki hak azasi yang tidak dapat dihapus untuk menyembah Allah menurut kesadarannya sendiri. Kalimat-kalimatnya adalah sebagai berikut:

Namun, itu merupakan hak azasi manusia yang fundamental, sifat yang istimewa, bahwa setiap manusia seharusnya menyembah menurut keyakinan masing-masing; agama seseorang tidak boleh membahayakan maupun menolong orang lain. Pasti tidak ada bagian agama yang memaksa agama – dimana kehendak bebas dan bukan paksaan yang menuntun kita – bahkan pengorbanan diri merupakan syarat bagi yang rela. Engkau tidak bisa menyumbangkan ibadah yang sungguh-sungguh kepada dewa-dewamu dengan memaksa kami berkorban. Karena mereka tidak akan berkenan atas persembahan dari orang-orang yang tidak rela, kecuali mereka dijiwai oleh suatu semangat pertikaian, yang merupakan sesuatu yang sama sekali tidak mengenal Tuhan (Tertullian, ad Scapulam, c. 2).

Justin Martyr menegaskan pendapat yang serupa (Apol., I, c. 2, 4, 12), dan kemudian Lactantius mengatakan:
Agama tidak bisa dipaksa dengan kekuasaan; masalah tersebut harus diselesaikan dengan pembicaraan, bukan dengan serangan, sehingga kehendak dapat tersentuh. Penyiksaan dan kesalehan sangat berbeda; kebenaran juga tidak mungkin bersatu dengan kekerasan, atau keadilan dengan kekejaman. Tidak ada yang lebih penting selain kehendak bebas untuk beragama (Lactantius, Instit. div., V, 20).

Dr. Baur dalam menanggapi pernyataan tersebut, mengatakan:
Sungguh luar biasa bagaimana para Pembela Kristen tertua mempertahankan iman Kristen yang diarahkan untuk menegaskan pengajaran kebebasan iman Protestan dan kesadaran sebagai sifat yang melekat atas pengertian agama dalam menghadapi lawan-lawan penyembah berhala mereka (Baur, Gesch. Der Christl. Kirche, I, 428).

Hase mengatakan:
Dengan demikian gereja membuktikan, bahwa pada masa kekuasaan yang sewenang-wenang tanpa batas, para pencari kemerdekaan dan orang-orang kudus menanggung akibatnya mewakili masyarakat (Hase, Church History, bagian 117, hal. 161, edisi 7).

Hal ini hampir boleh dikatakan bukan sebuah pendirian doktrinal Protestan, namun lebih tepat dikatakan sebagai milik kaum Baptis. Kaum Protestan malah telah siap untuk menganiaya.

Ketika Constantine setelah memenangkan pertempuran di Jembatan Milvian, Tiber, 27 Oktober 312 menjadi kaisar, ia mengeluarkan sebuah keputusan toleransi. Pengumuman resmi Milan yang terkenal itu dikeluarkan oleh Constantine dan Licinius. Karena pentingnya, maka hukum tersebut ditranskripsikan secara lengkap, sebagai berikut:

Karena sudah lama dirasakan bahwa kebebasan agama tidak bisa disangkal, namun sebaliknya harus dijamin berdasarkan pertimbangan dan keinginan setiap pribadi untuk melaksanakan kewajiban agamanya sesuai pilihannya masing-masing, kami telah memberikan perintah bahwa setiap orang, baik orang-orang Kristen maupun yang lainnya, harus memelihara iman sekte dan agamanya masing-masing. Namun karena didalam hukum yang direvisi ini, dimana kebebasan tersebut dijamin, banyak dan berbagai syarat kelihatan jelas ditambahkan, beberapa diantaranya kemungkinan terjadi setelah mengalami sedikit kemunduran ketaatan. Ketika aku, Constantine Augustus, dan aku, Licinus Augustus, datang dalam keadaan yang lebih menguntungkan ke Milan dan mempertimbangkan segala sesuatu mengenai kepentingan dan kemakmuran masyarakat, kami menetapkan antara lain, atau pertama-tama, membuat keputusan-keputusan demikian yang dilihat dari banyak segi adalah untuk kepentingan setiap orang; yakni seperti misalnya harus memelihara penghormatan dan kekudusan dihadapan Allah. Kami memutuskan untuk menjamin kebebasan orang-orang Kristen maupun siapa saja untuk mengikuti agama yang mereka pilih, bahwa apapun bentuk illah surgawi yang ada, itu adalah baik bagi kita dan semua orang yang hidup dibawah pemerintahan kita. Oleh karena itu, kami telah memutuskan, dengan alasan yang benar dan tulus, bahwa kebebasan tidak boleh ditolak oleh siapapun, untuk memilih dan mengikuti ketaatan agama orang-orang Kristen, namun sebaliknya bagi setiap orang, kebebasan diberikan untuk mencurahkan pikirannya kepada agama tersebut yang sesuai bagi dirinya, agar supaya Allah dapat dinyatakan kepada kita didalam segala sesuatu sesuai pemeliharaan dan kemurahanNya. Sudah seharusnya kami menuliskan bahwa ini merupakan sukacita kami, bahwa keadaan-keadaan yang sepenuhnya telah dihapuskan, yang terkandung didalam surat kami terdahulu mengenai orang-orang Kristen yang dikirim karena ketekunan anda semua, segala hal yang kelihatan sangat bengis dan bertentangan dengan kelembutan kami harus dihapuskan, dan bahwa kini setiap orang yang ingin mematuhi agama Kristen boleh melaksanakannya tanpa mengalami penganiayaan. Kami telah memutuskan untuk menyampaikan hal ini sepenuhnya merupakan hak anda, sehingga anda mengetahui bahwa kami telah menjamin kebebasan dan kemerdekaan penuh kepada orang-orang Kristen yang sama ini untuk menekuni agama mereka sendiri. Oleh karena hal tersebut telah dijamin dengan tanpa syarat kepada mereka, ketekunan anda memahami bahwa kebebasan juga dijamin bagi orang lain yang berkeinginan untuk mematuhi ibadah agama mereka sendiri; hal ini jelas sesuai dengan ketenteraman zaman kita, sehingga setiap orang harus memiliki kebebasan untuk memilih dan menyembah allah apa saja yang mereka sukai. Kami memutuskan agar kita tidak melihat lagi cara apapun untuk mendiskriminasikan menentang golongan agama apapun. Dan kami memutuskan masih dalam kaitan dengan orang Kristen, bahwa tempat-tempat mereka, dimana mereka dulunya biasa berkumpul, sehubungan dengan surat terdahulu yang dikirim karena ketekunan anda dimana perintah yang berbeda diberikan, jika terjadi bahwa ada orang yang telah membelinya, baik dengan perbendaharan kami maupun berasal dari siapa saja, maka harus dipulihkan kembali kepada orang Kristen yang dimaksud tanpa menuntut uang atau sejenisnya, dan tidak boleh ditunda atau ragu-ragu. Jika ada orang menerima tempat-tempat yang dimaksud sebagai hadiah, maka mereka harus mengembalikan secepat mungkin kepada orang Kristen yang sama; dengan pengertian yang sama bahwa jika mereka yang membeli tempat-tempat tersebut, atau mereka yang telah menerimanya, menuntut sesuatu pengganti, maka mereka dapat menyampaikannya kepada hakim di wilayah itu, sehingga keputusan dapat ditetapkan bagi mereka dengan pengampunan dari kami. Segala ini akan dijamin kepada masyarakat Kristen langsung demi kepentingan anda dan tanpa ditunda sedikitpun. Dan oleh karena orang Kristen yang dimaksud bukan saja dikenal memiliki tempat-tempat dimana mereka biasa berkumpul, namun juga tempat-tempat yang lain, yang bukan saja menjadi milik pribadi-pribadi diantara mereka, namun seluruh masyarakat secara keseluruhan, yaitu milik masyarakat Kristen, anda akan diberi kuasa bahwa semua itu, berdasarkan hukum yang telah kami nyatakan di atas, akan dikembalikan, tanpa ragu-ragu, kepada orang-orang Kristen yang dimaksud; yaitu kepada masyarakat dan jemaat mereka; ketentuan yang disebutkan di atas tentu saja harus ditaati, sehingga mereka yang mengembalikannya dengan tanpa syarat, seperti yang telah kami katakan sebelumnya, boleh mendapat anugerah dari kami. Didalam semua ini, demi kepentingan masyarakat Kristen yang disebutkan di depan, anda harus menggunakan ketekunan sepenuhnya, sehingga akhirnya kuasa kami dapat dipenuhi dengan segera, dan dalam hal ini juga, dengan grasi kami, keputusan dapat ditetapkan demi ketenteraman bersama dan umum. Karena dengan cara inilah, seperti yang telah dikatakan sebelumnya, Allah bermurah hati menuntun kita seperti yang telah kita alami dalam banyak hal, yang pasti akan terus berlangsung dari waktu ke waktu. Dan agar tujuan kemurahan ordinansi ini dapat diketahui semua, diharapkan apa yang telah kami tulis akan diterbitkan dimana-mana oleh anda dan disampaikan kepada semua orang, sehingga kemurahan ordinansi kita tidak akan diabaikan oleh siapapun (Eusebius, The Church History, X, 5).

Tentang ketetapan ini Mason berkata:
Hal itu merupakan pengumuman yang paling pertama dari doktrin yang pada masa kini dianggap sebagai tanda dan prinsip kemasyarakatan, dasar dari kebebasan yang solid, karakteristik politik modern. Dengan kalimat yang bersemangat dan tajam ia menyatakan kemerdekaan kesadaran yang sempurna, pilihan agama yang tidak dapat
dibendung (Mason, Persecution of Dioclesian, 327).

Sebuah agama yang dipaksakan sama sekali bukan merupakan agama. Sayangnya para penerus Constantine sejak masa Theodosius Agung (385-395) memaksakan agama Kristen dengan melarang agama lain; dan bukan itu saja, mereka juga memaksakan apa yang disebut orthodoksi dengan melarang setiap bentuk perbedaan pendapat, yang akan dihukum sebagai seorang penjahat yang menentang negara. Kebebasan yang absolut untuk beragama dan beribadah berdasarkan fakta yang logis adalah hal yang mustahil dalam sistim negara-gereja. Pemerintah kerajaan Roma terlalu absolut untuk membebaskan pengawasan terhadap agama, sehingga maklumat Constantine hanya berlangsung sementara saja. Selanjutnya, kekuasaan keuskupan bangkit masuk menyesuaikan diri dengan sistim monarkhi. Banyak uskup dan biarawan merupakan “orang yang berpakaian hitam, serakus gajah, dan yang tak terpuaskan hausnya, namun menyembunyikan sensualitas mereka dibawah kemuraman yang artifisial”.

Tetesan darah pertama dengan tuduhan bidat yang tumpah dari seorang tokoh Kristen dilakukan oleh Maximus, 385 AD., di kota Treves, Spanyol. Perbuatan ini disetujui oleh para uskup, kecuali gereja-gereja Kristen, namun mereka gentar ketakutan.>

Buku-buku untuk bacaan dan rujukan lebih lanjut:
Fisher, 45-48.
Schaff, II, 198-306.
John T. Christian, Baptism in Sculpture and Art.
Northcote dan Brownlow (Roman Catholics), Roma Sotterranea, 3 volume.
Philip Schaff, The Teaching of the Twelve Apostles.
The Ante-Nicene Fathers, diedit oleh Roberts dan Donaldson.

No comments:

Post a Comment