Pada mulanya tercapai kesatuan didalam doktrin-doktrin dan praktek-praktek yang fundamental. Selangkah demi selangkah beberapa gereja mulai menyimpang dari jalur-jalur yang lama dan mencari-cari berbagai temuan. Disiplin menjadi lemah dan pribadi-pribadi berpengaruh yang dulunya tidak ditoleransi, diperbolehkan untuk mengambil bagian didalam kehidupan pelayanan. Waktu berubah dan beberapa gereja juga berubah seiring dengan waktu. Diantara mereka ada yang telinganya gatal dan mereka mengejar hal-hal yang baru. Dogma tentang baptisan yang menyelamatkan pada mulanya diterima banyak kalangan, sehingga orang lebih suka mencuci dosa mereka didalam air daripada didalam darah Kristus. Para pelayan menjadi ambisius dengan kuasa dan menginjak-injak independensi gereja. Mereka menyesuaikan diri dengan kebiasaan duniawi dan kesenangan masyarakat.
Namun masih ada gereja yang tetap tidak menyeleweng, dan ada orang-orang setia yang angkat suara untuk menentang penyelewengan terhadap praktek-praktek yang telah diajarkan oleh para rasul. Sebuah catatan yang berasal dari antara beberapa reformator mula-mula yang menyampaikan protes dan berseru kepada orang agar kembali kepada kesederhanaan Injil disampaikan dibawah ini.
Chevalier Christian Charles Bunsen, ketika menjadi duta besar Prusia untuk London, yang berjalan didalam terang dan menghirup udara dari zaman yang lebih murni, melakukan perjamuan Tuhan dengan jemaat mula-mula. Ia menyampaikan perkataan-perkataan berikut ini dengan sungguh-sungguh:
Hilangkanlah kelalaian, kesalahpahaman, dan kepalsuan, maka kebenaran yang jelas akan tinggal tetap; syukur kepada Tuhan, janganlah setan yang terselubung; namun biarlah keindahan terang illahi dengan kebenaran yang kekal! Singkirkanlah rintangan yang memisahkan kita dari kerukunan jemaat mula-mula – yang aku maksudkan, bebaskan diri kalian dari surat rumusan, kanon yang diterbitkan belakangan dan abstraksi yang berdasarkan tradisi – dan bergeraklah dengan tanpa belenggu didalam lautan iman yang tak terbatas; maka engkau memelihara persekutuan dengan semangat para pahlawan Kristen purba; dan engkau dapat menelusuri arus persatuan yang bergulir selama delapanbelas abad meskipun menghadapi batu cadas dan pasir sedot (Bunsen, Hippolytus, 4).
Protes pertama untuk memisahkan diri dari penyelewengan yang berkembang pada masa itu adalah gerakan jemaat Montanist. Pemimpinnya, Montanus, merupakan seorang Phrygian yang muncul sekitar tahun AD. 156. Pendukung Montanisme yang paling terkemuka adalah Tertullian, yang mendukung dan mempertahankan pandangan mereka. Mereka mempertahankan bahwa ilmu pengetahuan dan seni, segala pendidikan atau bentuk kesenangan duniawi, harus dihindari, karena hal-hal tersebut merupakan milik paganisme (pemberhalaan). Mahkota kehidupan adalah kemartiran. Kehidupan religius mereka dipertahankan dengan keras. Mengenai dosa kekal, gereja seharusnya mempertahankan dirinya dengan mengeluarkan orang yang melakukannya, karena kekudusan jemaat jelas merupakan kekudusan para anggota jemaatnya. Dengan prinsip-prinsip demikian, tidak mungkin mereka akan terhindar dari konflik dengan Kekristenan yang populer pada masa itu. Hakekat pendirian dari jemaat-jemaat tersebut adalah untuk kehidupan yang berdasarkan Roh. Ia bukan merupakan sebuah bentuk baru Kekristenan; tetapi merupakan sebuah pemulihan atas jemaat lama, yang dilakukan oleh jemaat purba dalam menghadapi penyelewengan nyata dari Kekristenan pada masa itu. Gereja lama menuntut pemurnian; gereja baru telah melakukan kompromi dengan dunia, dan dengan sukarela menyesuaikan diri dengan dunia, oleh karena itulah mereka akan memutuskan hubungan dengan gereja baru (Moeller, Montanisme in Schaff-Herzog Encyclopaedia, III, 1562).
Pendirian mereka bukan hanya merupakan salah satu doktrin saja seperti halnya dengan disiplin. Mereka menuntut yang telah “menyeleweng” dari iman yang benar harus dibaptis ulang, karena mereka telah menyangkal Kristus dan harus dibaptis sebagai orang baru. Mengenai catatan ini, mereka disebut dengan istilah ‘Anabaptis’ (“Anabaptists”), dan beberapa prinsip mereka muncul kembali didalam Anabaptism (Schaff, History of the Christian Church, II, 427). Baptisan bayi belum menjadi sebuah dogma, dan kita mengetahui bahwa hal tersebut ditolak oleh para Montanist. Tertullian berpendapat bahwa hanya orang dewasa saja yang harus dibaptis. Para Montanist sangat dalam akar imannya, dan musuh mereka mengakui bahwa mereka menerima keseluruhan Alkitab, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, dan pandangan mereka benar mengenai Bapa, Putera dan Roh Kudus (Epiphanius, Hoer, XLVIII, 1). Mereka menolak keuskupan dan hak uskup yang menyatakan memegang kuasa kunci surga.
Gerakan tersebut menyebar dengan sangat cepat melalui Asia Kecil dan Afrika Utara, dan dalam suatu jangka waktu tertentu di Roma sendiri. Ia sangat menarik perhatian kaum moralis yang keras, kaum pemegang disiplin yang tegas, dan lebih-lebih orang-orang Kristen yang memiliki pikiran yang saleh. Montanisme berhak untuk menyatakan wahyu illahi karena keteguhan mereka memegang disiplin. Montanisme telah menyebabkan kegemparan di Asia Kecil sebelum penutupan abad kedua, sehingga diadakan beberapa kali sidang untuk menentangnya, dan akhirnya semua gerakan tersebut secara resmi dilarang. Namun Montanisme berlangsung terus selama berabad-abad, dan akhirnya dikenal dengan nama beraneka ragam (Eusebius, The Church History, 229 catatan 1 oleh Dr. McGiffert). Di Phrygia kaum Montanist berhubungan dengan, dan barangkali didalam persekutuan yang sebenarnya dengan kaum Paulician. Kita tahu bahwa mereka masih ada pada tahun 722 (Theophanes, 617, Bond edition).
Kebangkitan gereja Novatian merupakan singkapan lain atas perselisihan lama antara disiplin yang lemah dan yang keras. Pada tahun 250 Novatian menentang keras pemilihan Cornelius sebagai gembala jemaat di Roma. Novatian menyatakan bahwa dia tidak menginginkan jabatan tersebut untuk dirinya, namun dia membela kemurnian jemaat. Pemilihan Cornelius tetap berlangsung, dan Novatian membawa banyak jemaat dan hamba-hamba Tuhan bersamanya untuk memprotes. Gerakan Novatian yang sangat luas dapat dipelajari didalam karangan para penulis yang menentangnya, dan beberapa bagian dari kerajaan Romawi dimana mereka tumbuh subur.
Gereja-gereja tersebut terus berkembang dengan subur di banyak bagian daerah Kristen selama enam abad (Walch, Historie der Ketzereyen, II, 220). Dr. Robinson menelusuri perkembangannya sampai masa Reformasi dan kebangkitan gerakan Anabaptis. “Banyak sekali yang mengikuti contohnya (Novatian),” katanya, “dan semua jemaat Kerajaan Puritan diangkat dan bertumbuh subur selama dua ratus tahun berikutnya. Sesudah itu, ketika undang-undang memaksa mereka untuk bersembunyi di sudut-sudut, dan menyembah Tuhan secara pribadi, mereka dikenal dengan nama yang beraneka ragam, dan pergantian mereka berlangsung terus sampai masa Reformasi” (Robinson, Ecclesiastical Researches, 126, Cambridge, 1792).
Mengenai catatan tentang kemurnian hidup mereka, mereka disebut dengan nama Cathari, yaitu ‘yang murni’. “Masih ada hal yang lebih lagi,” menurut Mosheim, “mereka membaptis ulang orang yang datang kepada mereka, seperti misalnya orang Katolik” (Mosheim, Institutes of Ecclesiastical History I, 203, New York, 1871). Oleh karena mereka membaptis orang yang berasal dari kelompok lain yang datang kepada mereka, mereka disebut dengan sebutan Anabaptis. Sidang Lateran keempat menetapkan bahwa orang yang dibaptis ulang tersebut harus dihukum mati. Karena itu, Albanus, seorang hamba yang bersemangat, dan yang lainnya, dihukum mati. Menurut Robinson, mereka adalah “Baptis trinitarian”. Mereka mempertahankan independensi jemaat; dan mengakui persamaan martabat dan otoritas dari semua gembala.
Kaum Donatist muncul di Numidia pada tahun 311, dan segera menyebar luas di Afrika. Mereka mengajarkan bahwa gereja (jemaat) harus menjadi sebuah tubuh yang kudus. Crespin, seorang sejarawan Perancis, mengatakan bahwa mereka memegang pandangan sebagai berikut:
Pertama, demi kemurnian anggota jemaat, dengan menegaskan bahwa tak seorangpun boleh diterima kedalam jemaat, kecuali orang-orang yang jelas-jelas percaya dan orang-orang kudus.
Kedua, demi kemurnian disiplin jemaat.
Ketiga, demi independensi tiap-tiap gereja.
Keempat, mereka membaptis kembali orang yang baptisan pertamanya pantas diragukan. Akibatnya mereka diberi sebutan baptis ulang dan Anabaptis.
Dalam karya awal sejarahnya, David Benedict, sang sejarawan Baptis, menulis banyak sekali peringatan mengenai karakter denominasi Donatist. Ia dengan dekat mengikuti pernyataan-pernyataan penulis-penulis lain didalam karya sejarahnya; namun pada hari-hari akhirnya ia masuk kedalam sumber-sumber asli dan menghasilkan sebuah buku luar biasa yang berjudul “History of the Donatists” (Sejarah Kaum Donatist) [Pawtucket, 1875]. Didalam buku itu ia menarik diri dari posisi yang tidak memihak dan menggolongkan mereka sebagai kaum Baptis. Ia benar-benar dengan bebas menunjukkan sejak masa Augustine dan Optatus yang sezaman, bahwa kaum Donatist menolak baptisan bayi dan berjemaat didalam bentuk kepemerintahannya.
Dr. Heman Lincoln tidak setuju dengan beberapa kesimpulan Dr. Benedict dan menyebutnya aneh. Namun mengenai mereka memegang beberapa prinsip baptis, ia tidak meragukannya. Ia mengatakan:
Terbukti bahwa kaum Donatist didalam beberapa periode sejarah mereka, melaksanakan banyak prinsip yang tak dapat dibantah berhubungan dengan Baptis modern. Didalam sejarahnya yang kemudian, setelah mengalami disiplin penganiayaan yang jahat, mereka menegakkan kemerdekaan kesadaran yang absolut, pemisahan gereja dengan negara, dan keanggotaan jemaat yang sudah lahir baru, sebagai kebenaran-kebenaran yang utama. Prinsip-prinsip yang mereka pertahankan dengan memikul kemartiran tersebut seiring dengan praktek selam (baptis) yang seragam, membawa mereka kedalam kesamaan yang dekat dengan kaum Baptis (Lincoln, The Donatists, dalam The Baptist Review, 358, Juli 1880).
Ini merupakan posisi konservatif yang ekstrim. Barangkali Dr. Lincoln meremehkan warna yang diberikan oleh musuh-musuh Donatist yang menyebabkan pertentangan, dan tentu saja ia tidak memberikan penghargaan yang layak tentang masalah baptisan bayi yang dinyatakan Augustine didalam posisinya menghadapi mereka. Diakui bahwa beberapa kalangan Donatist terlalu menekankan efisiensi (ketepatgunaan) baptisan dan menyetujui keuskupan. Namun hal ini hanya merupakan masalah kontroversi yang tidak terlalu menarik, dan tidak kita perhatikan disini.
Gubernur Henry D’Anvers menekankan dengan sungguh-sungguh:
Buku Augustine yang ketiga dan keempat yang menentang para Donatist menunjukkan bahwa kaum Donatist menolak baptisan bayi, dimana disitu Augustine mempertahankan argumentasi baptisan bayi untuk menentang mereka dengan semangat berapi-api, menekankan argumentasi-argumentasi yang keras (D’Anvers, A Treatise on Baptism, 223, London, 1674).
Augustine menyebut kaum Donatist sebagai Anabaptis (Migne, Patrologia, Latin, XLII). Menurut Optatus, bentuk baptisan adalah selam. Lucas Osiander, Profesor dan rektor Universitas Tubingen, menulis sebuah buku untuk menentang Anabaptis pada 1605, dimana ia mengatakan: “Kaum Anabaptis modern kita adalah sama dengan kaum Donatists dahulu” (Osiander, Epist. cent. 16, hal. 175, Wittenberg, 1607). Namun para moralis yang keras tersebut tidak menggolongkan mereka sebagai Anabaptis; karena pikiran mereka bahwa ada satu Tuhan, satu iman, satu baptisan dan yang menjadi milik mereka sendiri (Albaspinae, Observat. In Optatus, i). Mereka tidak memperhatikan baptisan yang lain, dan berpendapat bahwa kaum Donatist secara salah telah dinamakan sebagai Anabaptis.
Kaum Donatist berjuang untuk kebebasan berpikir (kesadaran), dan mereka ditentang oleh kuasa penganiaya dari Gereja Negara. Menurut Neander, mereka merupakan “bagian gereja yang paling penting dan berpengaruh yang harus kita sebutkan pada periode tersebut” (Neander, General History of the Christian Religion and Church, III, 258). Kemudian ia melanjutkan:
Bahwa yang membedakan kasus pada masa kini adalah reaksi, yang berasal dari esensi gereja Kristen, dan ditimbulkan, dalam hal ini, oleh kejadian yang pelik yang berhadapan dengan perpaduan antara unsur-unsur gerejawi dan politis, dimana untuk pertama kalinya, gagasan Kristen yang
bertentangan dengan agama kepausan negara, pertama-tama telah membuat orang sadar, menjadi obyek pertikaian didalam gereja Kristen sendiri, -- gagasan-gagasan yang berhubungan dengan hak azasi manusia yang universal dan tidak dapat diganggu-gugat; yang berhubungan dengan kebebasan berpikir; yang berhubungan dengan hak untuk bebas memilih keyakinan agama.
Karena itulah Penilik (Uskup) Donatus dari Carthage pada tahun 347 menolak komisaris kerajaan, Paulus dan Marcarius dengan suara bulat: “Quid est imperatori cum ecclesia ?” (Optatus, Milev., De Schismati Donat. 1, iii, c.3). Dan memang benar bahwa kaisar seharusnya tidak ada hubungannya dengan pengendalian gereja. Penilik Donatist Petilian di Afrika menentang tulisan Augustine, naik banding kepada Kristus dan para rasul yang tidak pernah menganiaya. Katanya, “Apakah engkau mengira telah melayani Tuhan dengan membunuh kami dengan tanganmu ? Engkau salah, jika engkau, manusia fana yang malang, berpikir demikian; Tuhan tidak menggantung orang hanya karena orang itu imam. Kristus mengajar kita untuk menahan diri terhadap kesalahan, bukan dengan membalasnya.” Penilik Donatist Gaudentius mengatakan: “Tuhan mengangkat para nabi dan para nelayan, bukan para pangeran dan tentara untuk menyebarkan iman.”
Posisi orang-orang Kristen tersebut bukan hanya sebagai sebuah protes, namun merupakan sebuah seruan. Ia merupakan sebuah protes menentang penyelewengan dan keduniawian yang berkembang dari gereja-gereja yang telah dengan menyedihkan menyeleweng dari iman didalam doktrin dan disiplin; ia merupakan sebuah seruan, karena menyerukan dengan keras untuk kembali kepada kemurnian hidup dan kesederhanaan para rasul. Semua itu dilakukan melalui masa kegelapan, namun suara mereka tidak bisa dibungkam, dan tidak berkurang orang yang berdiri di pihak Tuhan. Mereka difitnah, menderita dengan sabar; dicaci, namun mereka tidak membalas; dan warisan dari mereka adalah kebebasan berpikir bagi dunia. Segala pujian bagi para martir Tuhan.>
Buku-buku untuk bacaan dan referensi lebih lanjut:
Fisher, 59, 58, 109, 141, 142.
Schaff, II, 415-421; 849-853.
The Ante-Nicene Fathers, diedit oleh Roberts dan Donaldson, Vol. III dan IV, karya Tertullian.
Namun masih ada gereja yang tetap tidak menyeleweng, dan ada orang-orang setia yang angkat suara untuk menentang penyelewengan terhadap praktek-praktek yang telah diajarkan oleh para rasul. Sebuah catatan yang berasal dari antara beberapa reformator mula-mula yang menyampaikan protes dan berseru kepada orang agar kembali kepada kesederhanaan Injil disampaikan dibawah ini.
Chevalier Christian Charles Bunsen, ketika menjadi duta besar Prusia untuk London, yang berjalan didalam terang dan menghirup udara dari zaman yang lebih murni, melakukan perjamuan Tuhan dengan jemaat mula-mula. Ia menyampaikan perkataan-perkataan berikut ini dengan sungguh-sungguh:
Hilangkanlah kelalaian, kesalahpahaman, dan kepalsuan, maka kebenaran yang jelas akan tinggal tetap; syukur kepada Tuhan, janganlah setan yang terselubung; namun biarlah keindahan terang illahi dengan kebenaran yang kekal! Singkirkanlah rintangan yang memisahkan kita dari kerukunan jemaat mula-mula – yang aku maksudkan, bebaskan diri kalian dari surat rumusan, kanon yang diterbitkan belakangan dan abstraksi yang berdasarkan tradisi – dan bergeraklah dengan tanpa belenggu didalam lautan iman yang tak terbatas; maka engkau memelihara persekutuan dengan semangat para pahlawan Kristen purba; dan engkau dapat menelusuri arus persatuan yang bergulir selama delapanbelas abad meskipun menghadapi batu cadas dan pasir sedot (Bunsen, Hippolytus, 4).
Protes pertama untuk memisahkan diri dari penyelewengan yang berkembang pada masa itu adalah gerakan jemaat Montanist. Pemimpinnya, Montanus, merupakan seorang Phrygian yang muncul sekitar tahun AD. 156. Pendukung Montanisme yang paling terkemuka adalah Tertullian, yang mendukung dan mempertahankan pandangan mereka. Mereka mempertahankan bahwa ilmu pengetahuan dan seni, segala pendidikan atau bentuk kesenangan duniawi, harus dihindari, karena hal-hal tersebut merupakan milik paganisme (pemberhalaan). Mahkota kehidupan adalah kemartiran. Kehidupan religius mereka dipertahankan dengan keras. Mengenai dosa kekal, gereja seharusnya mempertahankan dirinya dengan mengeluarkan orang yang melakukannya, karena kekudusan jemaat jelas merupakan kekudusan para anggota jemaatnya. Dengan prinsip-prinsip demikian, tidak mungkin mereka akan terhindar dari konflik dengan Kekristenan yang populer pada masa itu. Hakekat pendirian dari jemaat-jemaat tersebut adalah untuk kehidupan yang berdasarkan Roh. Ia bukan merupakan sebuah bentuk baru Kekristenan; tetapi merupakan sebuah pemulihan atas jemaat lama, yang dilakukan oleh jemaat purba dalam menghadapi penyelewengan nyata dari Kekristenan pada masa itu. Gereja lama menuntut pemurnian; gereja baru telah melakukan kompromi dengan dunia, dan dengan sukarela menyesuaikan diri dengan dunia, oleh karena itulah mereka akan memutuskan hubungan dengan gereja baru (Moeller, Montanisme in Schaff-Herzog Encyclopaedia, III, 1562).
Pendirian mereka bukan hanya merupakan salah satu doktrin saja seperti halnya dengan disiplin. Mereka menuntut yang telah “menyeleweng” dari iman yang benar harus dibaptis ulang, karena mereka telah menyangkal Kristus dan harus dibaptis sebagai orang baru. Mengenai catatan ini, mereka disebut dengan istilah ‘Anabaptis’ (“Anabaptists”), dan beberapa prinsip mereka muncul kembali didalam Anabaptism (Schaff, History of the Christian Church, II, 427). Baptisan bayi belum menjadi sebuah dogma, dan kita mengetahui bahwa hal tersebut ditolak oleh para Montanist. Tertullian berpendapat bahwa hanya orang dewasa saja yang harus dibaptis. Para Montanist sangat dalam akar imannya, dan musuh mereka mengakui bahwa mereka menerima keseluruhan Alkitab, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, dan pandangan mereka benar mengenai Bapa, Putera dan Roh Kudus (Epiphanius, Hoer, XLVIII, 1). Mereka menolak keuskupan dan hak uskup yang menyatakan memegang kuasa kunci surga.
Gerakan tersebut menyebar dengan sangat cepat melalui Asia Kecil dan Afrika Utara, dan dalam suatu jangka waktu tertentu di Roma sendiri. Ia sangat menarik perhatian kaum moralis yang keras, kaum pemegang disiplin yang tegas, dan lebih-lebih orang-orang Kristen yang memiliki pikiran yang saleh. Montanisme berhak untuk menyatakan wahyu illahi karena keteguhan mereka memegang disiplin. Montanisme telah menyebabkan kegemparan di Asia Kecil sebelum penutupan abad kedua, sehingga diadakan beberapa kali sidang untuk menentangnya, dan akhirnya semua gerakan tersebut secara resmi dilarang. Namun Montanisme berlangsung terus selama berabad-abad, dan akhirnya dikenal dengan nama beraneka ragam (Eusebius, The Church History, 229 catatan 1 oleh Dr. McGiffert). Di Phrygia kaum Montanist berhubungan dengan, dan barangkali didalam persekutuan yang sebenarnya dengan kaum Paulician. Kita tahu bahwa mereka masih ada pada tahun 722 (Theophanes, 617, Bond edition).
Kebangkitan gereja Novatian merupakan singkapan lain atas perselisihan lama antara disiplin yang lemah dan yang keras. Pada tahun 250 Novatian menentang keras pemilihan Cornelius sebagai gembala jemaat di Roma. Novatian menyatakan bahwa dia tidak menginginkan jabatan tersebut untuk dirinya, namun dia membela kemurnian jemaat. Pemilihan Cornelius tetap berlangsung, dan Novatian membawa banyak jemaat dan hamba-hamba Tuhan bersamanya untuk memprotes. Gerakan Novatian yang sangat luas dapat dipelajari didalam karangan para penulis yang menentangnya, dan beberapa bagian dari kerajaan Romawi dimana mereka tumbuh subur.
Gereja-gereja tersebut terus berkembang dengan subur di banyak bagian daerah Kristen selama enam abad (Walch, Historie der Ketzereyen, II, 220). Dr. Robinson menelusuri perkembangannya sampai masa Reformasi dan kebangkitan gerakan Anabaptis. “Banyak sekali yang mengikuti contohnya (Novatian),” katanya, “dan semua jemaat Kerajaan Puritan diangkat dan bertumbuh subur selama dua ratus tahun berikutnya. Sesudah itu, ketika undang-undang memaksa mereka untuk bersembunyi di sudut-sudut, dan menyembah Tuhan secara pribadi, mereka dikenal dengan nama yang beraneka ragam, dan pergantian mereka berlangsung terus sampai masa Reformasi” (Robinson, Ecclesiastical Researches, 126, Cambridge, 1792).
Mengenai catatan tentang kemurnian hidup mereka, mereka disebut dengan nama Cathari, yaitu ‘yang murni’. “Masih ada hal yang lebih lagi,” menurut Mosheim, “mereka membaptis ulang orang yang datang kepada mereka, seperti misalnya orang Katolik” (Mosheim, Institutes of Ecclesiastical History I, 203, New York, 1871). Oleh karena mereka membaptis orang yang berasal dari kelompok lain yang datang kepada mereka, mereka disebut dengan sebutan Anabaptis. Sidang Lateran keempat menetapkan bahwa orang yang dibaptis ulang tersebut harus dihukum mati. Karena itu, Albanus, seorang hamba yang bersemangat, dan yang lainnya, dihukum mati. Menurut Robinson, mereka adalah “Baptis trinitarian”. Mereka mempertahankan independensi jemaat; dan mengakui persamaan martabat dan otoritas dari semua gembala.
Kaum Donatist muncul di Numidia pada tahun 311, dan segera menyebar luas di Afrika. Mereka mengajarkan bahwa gereja (jemaat) harus menjadi sebuah tubuh yang kudus. Crespin, seorang sejarawan Perancis, mengatakan bahwa mereka memegang pandangan sebagai berikut:
Pertama, demi kemurnian anggota jemaat, dengan menegaskan bahwa tak seorangpun boleh diterima kedalam jemaat, kecuali orang-orang yang jelas-jelas percaya dan orang-orang kudus.
Kedua, demi kemurnian disiplin jemaat.
Ketiga, demi independensi tiap-tiap gereja.
Keempat, mereka membaptis kembali orang yang baptisan pertamanya pantas diragukan. Akibatnya mereka diberi sebutan baptis ulang dan Anabaptis.
Dalam karya awal sejarahnya, David Benedict, sang sejarawan Baptis, menulis banyak sekali peringatan mengenai karakter denominasi Donatist. Ia dengan dekat mengikuti pernyataan-pernyataan penulis-penulis lain didalam karya sejarahnya; namun pada hari-hari akhirnya ia masuk kedalam sumber-sumber asli dan menghasilkan sebuah buku luar biasa yang berjudul “History of the Donatists” (Sejarah Kaum Donatist) [Pawtucket, 1875]. Didalam buku itu ia menarik diri dari posisi yang tidak memihak dan menggolongkan mereka sebagai kaum Baptis. Ia benar-benar dengan bebas menunjukkan sejak masa Augustine dan Optatus yang sezaman, bahwa kaum Donatist menolak baptisan bayi dan berjemaat didalam bentuk kepemerintahannya.
Dr. Heman Lincoln tidak setuju dengan beberapa kesimpulan Dr. Benedict dan menyebutnya aneh. Namun mengenai mereka memegang beberapa prinsip baptis, ia tidak meragukannya. Ia mengatakan:
Terbukti bahwa kaum Donatist didalam beberapa periode sejarah mereka, melaksanakan banyak prinsip yang tak dapat dibantah berhubungan dengan Baptis modern. Didalam sejarahnya yang kemudian, setelah mengalami disiplin penganiayaan yang jahat, mereka menegakkan kemerdekaan kesadaran yang absolut, pemisahan gereja dengan negara, dan keanggotaan jemaat yang sudah lahir baru, sebagai kebenaran-kebenaran yang utama. Prinsip-prinsip yang mereka pertahankan dengan memikul kemartiran tersebut seiring dengan praktek selam (baptis) yang seragam, membawa mereka kedalam kesamaan yang dekat dengan kaum Baptis (Lincoln, The Donatists, dalam The Baptist Review, 358, Juli 1880).
Ini merupakan posisi konservatif yang ekstrim. Barangkali Dr. Lincoln meremehkan warna yang diberikan oleh musuh-musuh Donatist yang menyebabkan pertentangan, dan tentu saja ia tidak memberikan penghargaan yang layak tentang masalah baptisan bayi yang dinyatakan Augustine didalam posisinya menghadapi mereka. Diakui bahwa beberapa kalangan Donatist terlalu menekankan efisiensi (ketepatgunaan) baptisan dan menyetujui keuskupan. Namun hal ini hanya merupakan masalah kontroversi yang tidak terlalu menarik, dan tidak kita perhatikan disini.
Gubernur Henry D’Anvers menekankan dengan sungguh-sungguh:
Buku Augustine yang ketiga dan keempat yang menentang para Donatist menunjukkan bahwa kaum Donatist menolak baptisan bayi, dimana disitu Augustine mempertahankan argumentasi baptisan bayi untuk menentang mereka dengan semangat berapi-api, menekankan argumentasi-argumentasi yang keras (D’Anvers, A Treatise on Baptism, 223, London, 1674).
Augustine menyebut kaum Donatist sebagai Anabaptis (Migne, Patrologia, Latin, XLII). Menurut Optatus, bentuk baptisan adalah selam. Lucas Osiander, Profesor dan rektor Universitas Tubingen, menulis sebuah buku untuk menentang Anabaptis pada 1605, dimana ia mengatakan: “Kaum Anabaptis modern kita adalah sama dengan kaum Donatists dahulu” (Osiander, Epist. cent. 16, hal. 175, Wittenberg, 1607). Namun para moralis yang keras tersebut tidak menggolongkan mereka sebagai Anabaptis; karena pikiran mereka bahwa ada satu Tuhan, satu iman, satu baptisan dan yang menjadi milik mereka sendiri (Albaspinae, Observat. In Optatus, i). Mereka tidak memperhatikan baptisan yang lain, dan berpendapat bahwa kaum Donatist secara salah telah dinamakan sebagai Anabaptis.
Kaum Donatist berjuang untuk kebebasan berpikir (kesadaran), dan mereka ditentang oleh kuasa penganiaya dari Gereja Negara. Menurut Neander, mereka merupakan “bagian gereja yang paling penting dan berpengaruh yang harus kita sebutkan pada periode tersebut” (Neander, General History of the Christian Religion and Church, III, 258). Kemudian ia melanjutkan:
Bahwa yang membedakan kasus pada masa kini adalah reaksi, yang berasal dari esensi gereja Kristen, dan ditimbulkan, dalam hal ini, oleh kejadian yang pelik yang berhadapan dengan perpaduan antara unsur-unsur gerejawi dan politis, dimana untuk pertama kalinya, gagasan Kristen yang
bertentangan dengan agama kepausan negara, pertama-tama telah membuat orang sadar, menjadi obyek pertikaian didalam gereja Kristen sendiri, -- gagasan-gagasan yang berhubungan dengan hak azasi manusia yang universal dan tidak dapat diganggu-gugat; yang berhubungan dengan kebebasan berpikir; yang berhubungan dengan hak untuk bebas memilih keyakinan agama.
Karena itulah Penilik (Uskup) Donatus dari Carthage pada tahun 347 menolak komisaris kerajaan, Paulus dan Marcarius dengan suara bulat: “Quid est imperatori cum ecclesia ?” (Optatus, Milev., De Schismati Donat. 1, iii, c.3). Dan memang benar bahwa kaisar seharusnya tidak ada hubungannya dengan pengendalian gereja. Penilik Donatist Petilian di Afrika menentang tulisan Augustine, naik banding kepada Kristus dan para rasul yang tidak pernah menganiaya. Katanya, “Apakah engkau mengira telah melayani Tuhan dengan membunuh kami dengan tanganmu ? Engkau salah, jika engkau, manusia fana yang malang, berpikir demikian; Tuhan tidak menggantung orang hanya karena orang itu imam. Kristus mengajar kita untuk menahan diri terhadap kesalahan, bukan dengan membalasnya.” Penilik Donatist Gaudentius mengatakan: “Tuhan mengangkat para nabi dan para nelayan, bukan para pangeran dan tentara untuk menyebarkan iman.”
Posisi orang-orang Kristen tersebut bukan hanya sebagai sebuah protes, namun merupakan sebuah seruan. Ia merupakan sebuah protes menentang penyelewengan dan keduniawian yang berkembang dari gereja-gereja yang telah dengan menyedihkan menyeleweng dari iman didalam doktrin dan disiplin; ia merupakan sebuah seruan, karena menyerukan dengan keras untuk kembali kepada kemurnian hidup dan kesederhanaan para rasul. Semua itu dilakukan melalui masa kegelapan, namun suara mereka tidak bisa dibungkam, dan tidak berkurang orang yang berdiri di pihak Tuhan. Mereka difitnah, menderita dengan sabar; dicaci, namun mereka tidak membalas; dan warisan dari mereka adalah kebebasan berpikir bagi dunia. Segala pujian bagi para martir Tuhan.>
Buku-buku untuk bacaan dan referensi lebih lanjut:
Fisher, 59, 58, 109, 141, 142.
Schaff, II, 415-421; 849-853.
The Ante-Nicene Fathers, diedit oleh Roberts dan Donaldson, Vol. III dan IV, karya Tertullian.
No comments:
Post a Comment